Kamis, 17 Februari 2011

Teknologi sebagai Politik Kenyamanan


Teknologi sebagai Politik Kenyamanan


            Enam bulan setelah bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, Harold Urey—pemenang Nobel kimia 1934 dan salah seorang pimpinan proyek Manhattan—menulis,

“Saya menulis ini untuk menakut-nakuti Anda. Saya sendiri takut. Semua ilmuwan yang saya kenal merasa takut—takut akan hidup mereka—dan akan hidup Anda … ketegangan akan meningkat melebihi yang bisa kita bayangkan … kita akan hidup dalam ketakutan, tidur dalam ketakutan, dan mati dalam ketakutan. Kita takut, setiap kali ada ganggungan dalam hubungan internasional, bom atom muncul sebelum pagi menjelang” (dalam Robinson, 1948: 397).

Urey mungkin membayangkan, bahwa hanya dalam ketakutan terhadap kemungkinan mengerikan dari perkembangan program nuklir, manusia akan mulai memikirkan akibat tindakan-tindakannya. Filsuf Hans Jonas menyebut titik tolak kesadaran itu sebagai“heuristik ketakutan”. Nyatanya, sampai hari ini, banyak di antara kita masih bisa tidur lelap sekalipun masih ada 27.000 hulu ledak nuklir (nuclear warheads) di seluruh dunia tanpa alasan rasional strategis yang memadai.[1] Ini tentu tidak berarti bahwa semua orang diam saja terhadap pengembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir. Kelompok yang tidak setuju bukan pembenci teknologi yang populer dengan sebutan neo-Luddite.[2] Ada banyak alasan, teknis maupun non-teknis, untuk tetap bersikap skeptik terhadap “daya damai” yang dipromosikan teknologi nuklir.
            Tulisan sederhana ini akan meninjau teknologi sebagai politik kenyamanan dengan pertama-tama melihat fungsinya sebagai piranti. Bom atom dan berbagai hulu ledak nuklir strategis (serta beragam persenjataan bukan nuklir) merupakan contoh langsung penggunaan teknologi untuk kekerasan. Sekalipun demikian, dalam tulisan ini saya tidak membahas kekerasan dalam arti eksplisit seperti itu. Saya akan lebih melihat bagaimana teknologi yang tertanam dalam dunia kehidupan mentransformasikan pengalaman manusia serta melakukan “pemaksaan” tetapi tidak kita sadari, karena ia menyelundup diam-diam melalui gaya hidup yang kita rayakan dengan penuh suka cita.
           


Teknologi bukan semata Perkakas
Refleksi awal atas teknologi berangkat dari gagasan bahwa teknologi merupakan gejala singular yang mempunyai logika fungsionalnya sendiri, berbeda dari kebudayaan manusia pada umumnya. Teknologi bergantung ke hukum-hukumnya sendiri serta mempunyai peta perkembangannya sendiri. Ia menjadi subyek tanpa kontrol kecuali oleh dirinya sendiri. Pandangan substantif tentang teknologi yang diwakili oleh Jacques Ellul (1967) ini, misalnya, mengartikan teknologi sedemikian luas sebagai teknik. Ellul menjelaskan semua gejala dan peristiwa dengan menciutkannya ke satu prinsip, yakni tehnik. Perubahan teknologi merupakan dan akan terus menjadi penyebab utama perubahan dalam masyarakat. Di belakang gagasan ini bersembunyi asumsi metafisika mengenai sejarah linier dan universal yang juga melandasi the idea of progress. Baik pesimisme terhadap teknologi maupun optimisme menggebu para pendukungnya, lahir sebagai dampak pendekatan ini.
Martin Heidegger termasuk filsuf awal yang bermaksud menemukan bagaimana pada aras eksistensi paling dasar, manusia sudah selalu terlibat dengan teknologi. Teknologi bagi Heidegger merupakan suatu cara sistematik dalam melihat dunia dan melalui cara melihat itu, seluruh dunia diperlakukan sebagai bahan mentah yang siap untuk digunakan manusia melalui teknologi. Teknologi mengandaikan bentuk dunia yang tertentu dan dengan itu merumuskan tindakan tanggapannya. Melalui teknologi, dunia tersingkap sebagai ladang energi atau sumberdaya yang bisa ditambang dan ditimbun. Sifat “memaksa” teknologi terkait dengan hakikatnya sebagai penyingkapan dan pengerangkaan tersebut. Kendati ia menyingkapkan hakikat teknologi yang tidak bersifat teknologis, di ujung refleksi, ia sendiri terkerangkakan dalam konsep teknologi sebagai sesuatu yang self-generating. Teknologi lolos dari konteks sosial masyarakat sehingga bagi Heidegger, setiap bentuk teknologi, apakah itu bom atom, kamar gas di kamp konsentrasi, maupun industri makanan, semuanya merupakan ekspresi berbeda dari pengerangkaan yang sama.[3]
Jika teknologi dapat dijelaskan tanpa merujuk ke masyarakat, maka teknologi bersifat sosial hanya melalui proses penentuan sasarannya. Pendekatan substantif terhadap teknologi dengan cepat tergelincir ke pandangan instrumental mengenai teknologi. Teknologi semata perkakas; tidak jarang bahkan disederhanakan sebagai sains terapan yang memberlakukan kaidah-kaidah rasional yang sama dengan sains. Tentu saja gagasan instrumentalistik bebas nilai ini sudah lama usang.
Francis Bacon (1561-1626) memang mencita-citakan penerapan sains demi kesejahteraan umat manusia melalui peningkatan kemampuan teknis. Sekalipun demikian, harapannya sekadar cita-cita kesalehan tanpa isi. Baru pada tahap lanjut revolusi industri, pengetahuan ilmiah menjadi sumber bagi beragam proses industri sehingga berlangsung saintifikasi teknologi. Proses kebalikannya, teknifikasi sains, tidak terhindarkan ketika perkembangan sains semakin bergantung pada  kemajuan instrumentasi (Redner, 1987: 67). Lahirlah “teknosains” sebagai hibrida. Istilah ini baru memasuki kamus standar refleksi atas teknologi setelah penggunaan oleh Latour (1987: 29, 174-175), sekalipun gejalanya berkembang pesat sejak perang dunia ke-2. Menyangkut ‘hibrida’ ini, menarik untuk mengutip ucapan Waysand, “kuasa ilmu pengetahuan dibangun dengan menghapus daya ilmiahnya” (dalam Janicaud, 1994: xii).
Ia menunjuk ke fakta bahwa kemajuan sains dan teknologi sebagai hasil proses kumulatif, namun—terutama setelah PD II—penentu proses ini adalah sebuah komunitas raksasa yang menerima manfaat langsung dari keberhasilan sains dan teknologi. Komunitas itu beranggotakan pemerintah (unsur sipil dan militer), industri multinasional, dan lembaga-lembaga ilmiah terkemuka. Kemajuan sains dan teknologi tidak lagi bergantung ke individu penemu ataupun semata perhitungan ilmiah. Kombinasi berbagai kepentingan dan lebarnya spektrum nilai dalam komunitas raksasa tersebut, menyebabkan proses tersebut bersifat sangat politis. Proses raksasa tersebut di satu pihak mempercepat laju kecanggihan sains dan teknologi, khususnya bidang-bidang tertentu, tetapi di pihak lain membuatnya semakin jauh dari pemahaman masyarakat awam. Tumbuh kelompok-kelompok elite yang terus melebarkan sayap kekuasaannya tanpa memasalahkan akuntabilitasnya, karena selalu bisa bersembunyi di belakang selubung kompetensi teknis. Depolitisasi ruang publik (Afrendt, 1998) terjadi, karena masalah kebijakan publik menyangkut teknologi tertentu beralih menjadi masalah teknis yang tidak lagi terjangkau pemahaman awam. Problem teknologi namun mengangkut beban politis politis dipertarungkan dalam ajang para pakar menggunakan simbol-simbol teknis, sehingga lebih mirip pertunjukan ikon ketangkasan daripada perdebatan substansial menyangkut hajat hidup orang banyak.
Secara ringkas, menyangkut teknosains, pengalaman dalam PD II menyingkap dua hal: 1) dampak teknologi sesungguhnya tertanam dalam rancangannya, kendati sering diperlakukan sebagai efek samping (unintended consequences); 2) meski perubahan sosio-kultural kerap merupakan akibat tidak terelakkan dari persekutuan manusia dengan teknologi, intervensi manusia mempengaruhi bentuk dan karakter perubahan itu. Oleh alasan tersebut dan lainnya, sejak pertengahan ‘80-an, kajian reflektif atas teknologi cenderung meninggalkan orientasi transendental dengan melakukan empirical turn.[4] Tujuannya adalah memperlihatkan relasi manusia-teknologi yang jauh lebih rumit daripada yang ternyatakan dalam tesis determinisme teknologi.[5] Sekalipun demikian, kecenderungan Kajian Teknologi dan Sosiologi Teknologi memperlakukan teknologi sebagai sepenuhnya sistem sosial, sama dengan mengabaikan kotak-hitam teknologi yang isinya dipandu oleh rasionalitas fungsional.[6] Manusia tidak membangun peradaban dengan tubuh telanjang. Daya-daya material serta tata pengolahannya merupakan prasyarat dasar bagi adanya masyarakat dalam skala besar.

Piranti: Politik Kenyamanan
Memahami hubungan antara teknologi dan masyarakat berarti memahami ragam cara alat, perkakas, piranti beserta seluruh struktur pendukungnya termediasi dalam dunia kehidupan sehari-hari serta mentransformasikan dunia itu. Cara sederhana yang ditawarkan Borgmann (1984) adalah memahami gejala teknologi melalui pola yang bisa dikenali, tanpa tentu saja merampatkan seluruh gejala ke dalam satu pola. Salah satu pola menonjol teknologi modern adalah mengubah benda menjadi piranti (Borgmann, 1984; 42-43). Paradigma piranti merupakan prinsip formatif masyarakat modern, yang memilah komoditas yang mau disuguhkan dari sarana menyuguhkannya. Konteks bagaimana teknologi itu lahir tidak lagi relevan bagi pengguna. Pemanas air bertenaga listrik membebaskan pengguna dari jerih payah menjerang air di kompor, menunggui sampai mendidih dan menuangkannya ke ember untuk mandi, setelah sebelumnya mengisi kompornya dengan bahan bakar.
Contoh sederhana lainnya adalah kartu kredit. Kartu kredit menawarkan cara pembayaran paling nyaman. Kartu itu membebaskan pengguna dari beban membawa uang kontan, menghitung uang kala melakukan pembayaran, serta mencegah rasa malu bila uang di dompet tidak cukup untuk melakukan transaksi. Beban itu diambil alih oleh teknologi digital yang tidak kelihatan. Kartu kredit juga terlepas dari materialitas peredaran uang; uang virtual sekalipun. Seluruh karakter uang dalam pengertian tradisional lenyap, digantikan oleh sebuah janji, unspoken promise, yang sebetulnya tidak mengandung apa-apa.
Piranti bertujuan meningkatkan efisiensi, tetapi membuat pengguna semakin jauh dari realitas dengan menyembunyikan mesin penggeraknya, termasuk konteks waktu-ruang yang melekat pada benda. Masuknya tenaga listrik ke dalam kehidupan sehari-hari merupakan contoh paling nyata bagi gejala pelepasan daya-daya alam yang tidak lagi memperlihatkan kealamiahannya, sekaligus membuat manusia setiap saat bergantung pada berfungsinya sebuah sistem raksasa. Kita tidak bisa menumpuk listrik untuk persediaan, sebagaimana kita menimbun batubara atau bensin. Sifat sarana sebagai hantu tersembunyi semakin menguat dalam teknologi informasi, yang mampu menciptakan kemampuan abstrak mengontrol emosi melalui manipulasi informasi.
Sebagai komoditas, piranti menawarkan kenyamanan. Penyembunyian itu di satu sisi menyebabkan peran piranti sebagai ‘sarana’ ikut terselubung; di sisi lain, semakin menonjolkan kemudahan tersedianya ‘tujuan’. Bersamaan dengan penanggalan konteks dari piranti, terbentuk kelompok sosial dengan gaya hidup yang diapropriasi lewat iklan. Orang mengonsumsi bahkan terikat ke komoditas bukan lagi karena fungsi materialnya, melainkan karena kenyamanan dan kenikmatan yang dihasilkan, sera makna dan identitas yang terbentuk.  
Untuk yang terakhir ini, kita ambil contoh warga Jakarta yang sekarang sedang heboh mengunjungi sebuah mall di kawasan Senayan. Entah berapa megawatt listrik setiap hari dihabiskan demi tontonan dan kenikmatan yang disajikan kepada para pengunjung. Bahwa untuk menghasilkan kenikmatan “orang kota” itu, rahim Bumi dikoyak atau kita dipaksa menerima jenis teknologi berisiko tinggi bukan urusan para pengelola, apalagi pengunjung.
Bahwa teknologi tersebut membawa risiko yang juga akan dirasakan oleh “orang dusun” yang tidak pernah menerima manfaat langsung, dianggap efek samping yang ‘mestinya’ sudah menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan. Ketika terjadi bencana, para pengambil kebijakan dengan cepat akan melempar masalah ke para insinyur yang tentunya sudah menjamin keamanan teknologi tersebut, sebelum dilepas keluar dari ‘bilik percobaan’. Para insinyur dengan rendah hati akan berkilah bahwa tugas mereka adalah mencipta, tetapi bagaimana ciptaan akan digunakan, bukan tanggung jawab mereka. Para pemilik modal punya alasan sejenis dengan melempar muasal permasalahan ke ‘kebutuhan pasar’ yang menentukan apa yang perlu atau tidak perlu dijual.
Ulrich Beck (1995) menamakan situasi itu organized irresponsibility. Inilah suatu keadaan ketika secara sistemik tidak satu pihak pun bisa dimintai pertanggungjawaban atas bencana yang terjadi dan menyengsarakan banyak orang. Ini bukan situasi khayal. Kasus lumpur panas Lapindo memperlihatkan sedikit banyak gejala serupa.
Lepasnya konteks dari piranti, membuat kita abai. Para pemakai energi terendah di negeri ini boleh jadi bukan saja harus menanggung  risiko yang sama dengan para penikmat terbesar, tetapi jauh lebih besar. Piranti merupakan perwujudan paling nyata dari teknologi sebagai “politik kenyamanan” karena memungkinkan pengguna tidak perlu pusing dengan seluruh proses yang membangkitkan kenikmatan yang menjadi tujuannya. Tentu tidak ada yang keliru dengan upaya manusia mengupayakan kenikmatan dan kenyamanan. Kenikmatan dan kenyamanan menjadi masalah etis ketika muncul pertanyaan, apakah upaya pemerolehannya—langsung atau tidak—berpotensi mendukung atau merusak kepentingan bersama? Dalam konteks pembicaraan kita, apakah upaya menyediakan mesin penggeraknya yang tersembunyi itu semakin menghancurkan atau menguatkan tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama? Apakah teknologi yang dipilih meningkatkan kualitas hidup warga dalam jangka panjang?
Siapa yang secara kongkret akan memutuskan, khususnya ketika menyangkut teknologi berharga amat mahal dan berisiko tinggi serta menuntut disiplin luar biasa ketat yang belum tentu kita sanggupi, seperti PLTN?
Klaim bahwa pemerintah memegang peran khusus yang berbeda dengan aktor-aktor lainnya dalam perkembangan teknologi, merupakan debat tiada habis dalam Kajian Sains dan Teknologi, menyangkut karakter politik dan tindakan politik (Brown, 2001: 57). Sementara ide participatory design policy juga bukan tanpa masalah karena menyamakan secara gegabah individu sebagai warganegara dan sebagai konsumen. Di satu sisi, pemerintah semakin kehilangan daya penentunya akibat terjerat dalam jaring-jaring kekuatan berbagai kepentingan. Di sisi lain, mengandalkan warga sebagai pengambil keputusan mengandung ketegangan antara kebutuhan individu memaksimalkan kenyamanannya berdasarkan kebebasan preferensi pasar, dan kesadaran warga akan kepentingan bersama. Ketegangan tersebut bersumber di logika pemilihan yang berbeda (Sen, 1990). Yang pertama masalah selera, yang kedua masalah nilai-nilai yang bukan perkara suka atau tidak suka layaknya memilih perona mata atau kemeja.

Kepakaran dan Intelektualitas
Mungkin kita sedikit lega jika membayangkan bahwa kita bisa kembali ke diktum kuno: mereka yang berpengetahuanlah yang punya kekuasaan sekalipun paparan di atas sudah menunjukkan betapa pakar sebetulnya adalah anggota komunitas raksasa yang punya banyak kepentingan. Namun untuk sementara, sekali lagi kita andaikan kita bisa bertumpu ke preferensi mulia para pakar. Para pakar di bidang ilmunya inilah modal kultural minimal yang akan menyediakan pertimbangan-pertimbangan obyektif bagi masyarakat dan pemerintah untuk membuat pilihan. Pertanyaannya, sekali lagi, sejauh mana kepakaran bisa disejajarkan dengan “bisa dipercaya”?  Kita simak saja tragedi Challenger 28 Januari 1986 sebagaimana disampaikan Michael Davies dalam pertemuan The American Society of Civil Engineers (Mei 1988). Ringkasnya demikian:

Malam 27 Januari 1986, Robert Lund gelisah. Ia adalah wakil pimpinan perusahaan Morton-Thiokol dari divisi rekayasa. Morton-Thiokol adalah perusahaan yang memenangkan tender pembuatan roket pendorong pesawat ulang-alik Challenger. Kontraknya menghasilkan keuntungan $150 juta. Lund baru saja selesai menghadiri pertemuan para insinyur yang merekomendasikan penundaan peluncuran. Ia memberitahukan atasannya, Jerald Mason. Mason menghubungi para wakil NASA di Cape Kennedy (kawasan peluncuan). Berdasarkan aturan keselamatan, tanpa persetujuan para insinyur, pesawat ulang-alik tidak bisa diluncurkan. Lund belum memberi persetujuan karena temperatur di kawasan peluncuran mendekati titik beku. Sementara wakil Thiokol di Cape Kennedy khawatir akan es yang sudah terbentuk di sekitar roket pendorong, Lund mengkhawatirkan cincin-cincin O yang melindungi elemen-elemen roket pendorong itu. Pada temperatur terlalu rendah, cincin pelindung kehilangan kelenturan dan gagal akan berfungsi, Jika itu terjadi selama penerbangan, pesawat akan meledak. Sejauh itu, memang belum pernah ada uji-coba di bawah temperatur 50C. Namun dengan mempertimbangkan nasib para awak Challenger, para insinyur membuat keputusan tegas: keselamatanlah yang utama. Pihak Cape Kennedy keberatan dengan keputusan itu. Peluncuran Challenger sudah tertunda, dan atas berbagai pertimbangan, mereka harus meluncurkannya kali itu sesuai jadwal. Mereka menghubungi Mason dan sekali lagi meminta persetujuan Morton-Thiokol. Mason dan Joseph Kilminster—wakil pimpinan bidang ulang-alik—bersedia menandatangani persetujuan peluncuran asalkan ada persetujuan dari Lund. Lund kembali menolak. Mason lalu mendesak dengan menyampaikan instruksi yang membuat Lund mempertimbangkan lagi keputusannya. Para pimpinan perusahaan Morton-Thiokol memikirkan citra perusahaan mereka yang pada saat itu sedang dalam proses negosiasi pembaruan kontrak dengan NASA. Mason meminta Lund mencopot topi keinsinyurannya dan mengenakan topi manajer. Pemungutan suara para manajer dilakukan dengan keputusan bahwa tidak cukup alasan untuk menyatakan bahwa cincin-O tidak aman. Lund pun memberikan persetujuannya. Allan McDonald yang mewakili Morton-Thiokol di Cape Kennedy menolak menandatangani persetujuan, tetapi Kilminster bersedia. Keesokan harinya Challenger meledak 76 detik setelah diluncurkan. Kabin awak jatuh ke laut dan kee-tujuh awak tewas. Penyelidikan menunjukkan kegagalan cincin-O untuk berfungsi (diringkas dari Davis, “Thinking Like an Engineer”, 1988)

Kita tahu bahwa manajer berurusan dengan manusia, sementara insinyur berurusan dengan teknologi. Berpikir sebagai manajer dalam konteks yang dituntut oleh Mason dari Lund, adalah memumpun perhatian ke manusia. Ada dua kelompok manusia yang menuntut perhatian Lund sebagai manajer, yaitu (kepuasan) pihak yang dilayani (NASA) dan (jaminan kelanjutan pekerjaan) para insinyur bawahannya.
Kepakaran sebagai modal kultural yang sifatnya minimal, menunjuk ke pakar yang merujuk secara obyektif ke keahlian mereka. Dalam kehidupan civic kita, kita mengerti bahwa ini tidak mencukupi. Mengapa? Penanggalan konteks dari piranti bermuara di pemilahan tujuan dari makna. Tujuan diperlakukan sebagai semata perkara teknis. Ini berbeda ketika orang mengerti apa artinya profesi sebagaimana Hippokrates memahaminya. Hippokrates adalah seorang pakar di bidang kesehatan. Akan tetapi, ketika ia mengucapkan janji publik, ia juga sekaligus adalah anggota sebuah komunitas moral. Ia bukan saja tahu tanggung jawab yang ia emban karena keahlian yang ia miliki, tetapi juga memahami apa artinya kebaikan bersama. Ia sekaligus seorang pakar dan intelektual. Kode etik profesi yang idenya diwarisi dari sumpah Hippokrates mengandung pengertian bahwa seseorang yang punya pengetahuan sekaligus memahami implikasi profesinya bagi masyarakat umum. Otoritas yang ia miliki ia peroleh bukan dari keahliannya, tetapi terutama karena janji publik yang ia ucapkan. Hanya ketika ada jaminan kesetiaan kepada janji publik dengan komitmen moral semacam Hippokrates, para pakar menjadi kelompok yang layak dipercaya.

Technological Somnambulism
Piranti menjadi semakin memukau karena bergabung dengan politik pasar yang menawan dan membius. Padahal politik pasar sangat anti-intelektual. Intelektualitas melibatkan pengetahuan sekaligus kebijaksanaan, sementara pasar mengandalkan selera dan daya beli.[7] Teknologi secanggih teknologi ulang-alik ataupun PLTN tentu tidak dipilih segampang orang memilih menu makan siang. Meski demikian, cuaca kultural dan kepentingan ekonomi-politik bukannya tidak saling mempengaruhi. Para kapten pemasaran—entah ekonomi maupun politik—selalu bisa menempatkan diri dalam posisi strategis terhadap kelompok sasaran, sehingga akan mengarahkan pilihan sesuai kepentingan yang dirancang secara tersembunyi. Kita perhatikan bahwa setiap kali diskusi mengenai pembangunan PLTN dimulai, pemrakarsanya adalah lembaga yang berkepentingan khusus untuk pengembangan teknologi itu, entah industri ataupun lembaga penelitian yang dengan demikian bisa memperluas sayap kelembagaannya. Di atas dalih romantis pemenuhan kebutuhan konsumen yang terus meningkat, pemaksaan atas jenis teknologi tertentu menemukan pembenarannya. Atas nama kebutuhan pasar, kontingensi beralih menjadi keniscayaan.
Dalam refleksi Hans Jonas atas teknologi (1979, dalam Schraff dan Dusek, 2003: 192-193), hubungan antara sarana dan tujuan tidak bersifat unilinear, melainkan sirkular. Tujuan menemukan pemenuhannya melalui teknologi baru. Sebaliknya, teknologi baru menyuguhkan, menciptakan, serta memaksa tujuan baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Teknologi punya kekuatan untuk terus meningkatkan isi kantung hasrat manusia, termasuk kehendak akan teknologi itu sendiri. Teknologi dan hasrat sama-sama merupakan gejala kegelisahan.  
Kegelisahan teknologi juga dipicu oleh efek sampingnya yang problematik, seperti pengurangan sumber daya alam dan peningkatan populasi, yang pada gilirannya menuntut inovasi lanjut. Gejala ini masih ditambah dengan sindroma proliferasi dalam bentuk jaringan kesalingan amat rumit antara teknologi utama dan teknologi-teknologi pendukungnya (Jonas, ibid., 197). Bersama dengan persaingan untuk menumpuk laba, perluasan kekuasaan serta pertahanan keamanan, kegelisahan ini merupakan penggerak ‘abadi’ teknologi untuk terus bergulir maju. Tentu ada daya picu yang lebih otonom dan spontan, yaitu penggabungan antara visi utopis tentang peran teknologi sebagai penyelamat peradaban dan kenikmatan eksistensial yang muncul dari kegiatan rekayasa. Hal yang terakhir ini berhubungan dengan kodrat manusia yang senantiasa menjajaki wilayah baru demi meraih yang serba lebih nyaman.   
Khotbah naif tentang ‘kemajuan’ (the idea of progress) dan gagasan utopis sisa zaman revolusi industri yang disebut Jonas, yang menyebabkan teknologi dipandang sebagai sang penyelamat, merupakan salah satu alasan filsafat cukup lama mengabaikan teknologi. Alasan kedua adalah gagasan usang tentang teknologi sebagai perkakas, yang memilah ‘pembuat’ dari ‘pemakai’, sehingga masalah menyangkut teknologi tidak relevan bagi pemakai. Alasan berikutnya adalah tradisi filsafat Plato dan Aristoteles yang membedakan secara hierakis (dan dengan begitu nilainya bagi keutamaan manusia) epistēmē dengan technē (Scharff & Val Dusek, 2003; 3-5).
Tentu ada banyak pemikir yang sudah sejak akhir abad ke-19 merefleksikan teknologi. Namun, pada tahap itu kebanyakan melakukannya sebagai bagian dari refleksi atas bidang lain seperti Marx dan Kapp (materialisme historis), Heidegger (ontologi), serta Ellul (analisis sosiologis). Sementara, para teknolog dan ilmuwan melakukan kajian dari dalam teknologi. Tujuannya adalah memahami bagaimana cara mengada yang teknologis menjadi paradigma bagi pemikiran dan tindakan dalam bidang-bidang lain kehidupan. Mitcham (1994; 19-38) menamakan pendekatan itu sebagai engineering-philosophy (oleh Engelmeier, Dessauer, Bacca).
Teknologi sebagai gejala, bukan semata latar di belakang kegiatan manusia, merupakan refleksi yang relatif baru dibandingkan dengan bidang-bidang lain seperti sains, sejarah, hukum, dlsb (Mitcham, 1994; Borgmann, 1999; Kaplan, 2004). Winner (2004) menamakan keterlambatan mengenali teknologi sebagai gejala sebagai technological somnambulism. Berhadapan dengan gejala teknologi, filsafat rupanya ngelindur untuk waktu yang cukup lama. Hanya “sesudah terlindas bulldozer, kita cepat-cepat berdiri dan dengan seksama mengukur jejaknya”, tulis Winner. Padahal semakin maju teknologi, dan semakin besar campur tangannya dalam dunia sehari-hari serta seluruh ekosistem, semakin jejak itu tidak terukur. Hubungan manusia dengan teknologi bukan lagi tercerminkan oleh relasi (Manusia-teknologi)→Dunia dan/atau Manusia →(teknologi-Dunia) tetapi juga Manusia→teknologi-(-Dunia).[8]
Dalam relasi yang ketiga, teknologi bukan sekadar kepanjangan tubuh manusia atau sarana manusia menafsirkan dunia, melainkan pusat keterlibatan manusia sementara Dunia menjadi semata konteks atau latar belakang. Ketika Dunia menjadi latar belakang, jejak permanen, lembam, dan tak-terurai yang ditanamkan sistem teknologi di sekitar kita menjadi gejala yang tidak dikenali langsung, kecuali ketika menimbulkan efek katastrofik. Sekalipun dampak teknologi sesungguhnya tertanam dalam rancangannya, selalu saja dipertimbangkan sebagai efek samping (unintended consequences). Kita memahaminya demikian mungkin akibat kenaifan, tetapi mungkin juga dengan kesengajaan demi merayakan politik kenyamanan.

Mengapa Promotheus menderita?
Terikat dengan rantai besi ke batu karang, sementara seekor elang terus mematuk hatinya, Promotheus meratap:
It was I and none other who discovered ships, the sail-driven wagons that the sea buffets. Such were the contrivances that I discovered for men—alas for me! For I myself am without contrivances to rid myself of my present affliction”.
Promotheus mencuri api dari Hephaestus dan Athena serta memberikannya kepada manusia. Malangnya, ia mencuri sarana amat penting yang dibutuhkan manusia untuk menjalankan dan mempertahankan hidupnya, akan tetapi curiannya itu tidak mengandung hal paling utama yang justru dibutuhkan manusia dalam hidupnya: civic wisdom (lihat Dialog Plato, Protagoras). Untuk itulah ia dihukum oleh Zeus sepanjang zaman. Tidak ada cara yang bisa membebaskannya dari kesengsaraan akibat kecerobohannya itu.***
Karlina Supelli
Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta
Kepustakaan
1.      Brown, Mark, “Civic Shaping of Technology”, Science, Technology, & Human Values, Vol. 26, No. 1. (Winter, 2001), pp. 56-81. URL: http://links.jstor.org/sici?sici=0162-2439%28200124%2926%3A1%3C56%3ATCSOTC%3E2.0.CO%3B2-4 (12 April 2007)
2.      Ellul, Jacques, The Technological Society (Vintage, 1967)
3.      Latour, Bruono, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers Through Society (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1987).
4.      MacKenzie, Donald. & Wajcman, Judy (eds). The Social Shaping of Technology (McGraw Hill Education, 1999).
5.      Redner, Harry, The Ends of Science: An Essay in Scientific Authority (Boulder: Westview Press, 1987)
6.      Sen, Amartya K, “Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundations od Economic Theory” dalam Beyond Self-Interest, ed. Jane Mansbridge (Chicago: Chicago University Press, 1990), 25-43.


[1] Lihat Lawrence Krauss, Closer to Armageddon, New Scientist, 02624079, 2/17/2007, Vol. 193, Issue 2591. Sebagai catatan, hulu ledak nuklir yang ada di dunia dalam bentuk hulu ledak strategis sekarang ini ± 7.000, sementara yang taktis dan bom ± 20.000.

[2] Luddite adalah sebutan bagi kelompok para pekerja di Inggris abad ke-19 yang menghancurkan mesin-mesin pabrik karena memandang bahwa penggunaan dan ketergantungan pada mesin telah merampas, sedikitnya mengurangi,  sumber pendapatan buruh yang selama itu bekerja mengandalkan tenaga manusia. Gerekan protes ini dimulai di Nottinghamshire tahun 1811. Istilah Neo-Luddite kini ditujukan bagi kelompok anti-teknologi.

[3] Kalimat Heidegger yang tercantum dalam teks bahan kuliah “Enframing” namun tidak lagi tercantum dalam teks yang dipublikasikan sebagai “The Question Concerning Technology” (1954) berbunyi demikian, “Agriculture is now a mechanised food industry, in essence the same as the manufacturing of corpses in gas chambers and extermination camps, the same as the blockade and starvation of nations, the same as the production of hydrogen bombs”, lihat Tom Rockmore, On Heidegger's Nazism and Philosophy (Berkeley: University of California Press, ©1992), 241-242. http://ark.cdlib.org/ark:/13030/ft6q2nb3wh/

[4] Saya mengacu ke David Kaplan (2004). Orientasi transendental menjadi ciri filsafat teknologi antara 1940an dan 1970an. Para pemikir kontemporer lebih berpusat di penafsiran kontekstual, melihat teknologi dalam relasi kesalingtergantungan dengan masyarakat [89].

[5] Dengan jenaka Charlie Chaplin dalam film Modern Times (1936) menggambarkan paradoks teknologi modern, sekaligus secara implisit menjungkirbalikkan konsep determinisme teknologi. Chaplin mengekspresikan teknologi melampaui megamachine (struktur raksasa yang dirancang bagi pelaksanaan otomatis). Mekanisme jalur perakitan menjadikan tubuh manusia sekadar elemen pendukung kerja mesin, sedemikian sehingga seluruh anggota tubuh ikut terotomatisasi seiring laju putaran roda gigi. Menariknya, perlawanan terhadap dominasi mesin terjadi ketika sang buruh terguncang mentalnya. Untuk pertama kali, gerak yang menarik perhatian bukan lagi gerak mekanis, melainkan olah tubuh sang buruh. Melalui dansa orang sakit jiwa, the tramp—tokoh utama yang diperankan Chaplin—seperti melakukan tindakan sia-sia mencoba mengambil alih kekuasaan mesin. Namun, ketika mesin berhasil ia jadikan sekutu, ia bukan lagi semata sepotong sekrup dari sebuah mesin raksasa. Ia menentukan jalannya mesin dan dengan demikian, perilaku buruh pabrik.

[6] Ambil contoh kajian mengenai inovasi teknologi. Pinch dan Bijker menyederhanakan literatur “Kajian Teknologi” ke dalam tiga tema besar: 1) kajian inovasi, 2) sejarah teknologi dan 3) sosiologi teknologi.  Dalam analisis ekonomi mengenai inovasi teknologi, misalnya, segala sesuatu yang dipercaya akan mempengaruhi suatu penemuan, dikaji secara cermat dan rinci kecuali teknologi itu sendiri. Teknologi sebagai suatu sistem pengetahuan tersendiri diabaikan {Pinch dan Bijker dalam Schraff dan Dusek (2003: 223-224)}.
[7] Bdk. Stephen Brown, Anne Marie Doherty, Bill Clarke. “Stoning the Romance, On marketing’s mind-firg’e manacles” dalam Brown, Doherty, Clarke (eds) Romancing the Market (London: Routledge, 1998), 9.
[8] Lihat Don Ihde, Technology and the Lifeworld (Bloomington, Indiana University Press, 1990), 72-108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar