Kamis, 10 Februari 2011

HUBUNGAN ANTAR MANUSIA MENURUT EMMANUEL LEVINAS (1)


Sebuah pengantar diskusi

  1. Pengantar
Secara transparan, Thomas Hobbes menganggap manusia pada dasarnya seperti binatang buas (Homo homini lupus) dan Jean Paul-Sartre menyebut sesama sebagai neraka, atau neraka adalah orang lain.
Dalam kondisi yang Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush dalam pidato kenegaraannya di tahun 2002, menyebut Iran, Irak, dan Korea Utara sebagai poros kejahatan (axis of evil). Dan baru dalam pidato awal Maret tahun 2006, Bush menjelaskan alasan menggunakan julukan itu. Sebab, kata Bush, ia prihatin dengan negara-negara yang ‘tidak transparan’ dan telah menyatakan berniat mengembangkan senjata-senjata nuklir. Bush mengatakan: “saya sudah mengatakan sebelumnya bahwa ada poros kejahatan dan poros itu mencakup Iran serta Korea Utara. Saya mengatakan demikian karena saya prihatin dengan pemerintahan-pemerintahan Totaliter yang tidak transparan, yang menyatakan niatnya untuk mengembangkan senjata nuklir” (Suara Merdeka; 21 Maret 2006, 13). Terlepas dari berbagai latar belakang kepentingan lain, dalam kasus ini nampaknya Amerika Serikat menempatkan diri sebagai “polisi dunia” demi keselamatan seluruh umat manusia dalam level global, sementara Korea Utara dan Iran merasa pantas mengembangkan Uranium, bahkan dengan alasan sebagai “yang memiliki hak”.
Dalam konteks global yang lainnya, ketegangan antara penyamarataan “budaya MacWorld” dan hasrat komunitas-komunitas lokal untuk mewujudkan identitas khas, kadang-kadang (diantara) primordial mereka masing-masing, antara kekuatan-kekuatan pemersatu globalisasi di satu pihak dan konflik semakin banyak pandangan hidup, religius, moral, ideologis yang tidak mau bersatu di lain pihak juga telah mengemuka sejak abad ke-20 bahkan makin parah sekarang (Magnis Suseno, 2000, 5). Dalam konteks Indonesia, ketegangan antara identitas primordial seperti kesukuan, budaya, ras, golongan, agama dll dengan identitas nasional keIndonesiaan pun nyata, bahkan menimbulkan berbagai gejolak konflik. Hubungan antar manusia dalam ruang lingkup yang paling primordial pun menampakkan ketidakharmonisan di sana; hubungan gender diantara laki-laki dan perempuan, hubungan antar agama, dan berbagai jenis hubungan sosial lainnya. Pertanyaannya, mengapa hubungan diantara manusia menunjukkan ketidakharmonisannya sebagaimana yang disinyalir diatas? Suatu kerangka berpikir filosofis yang diperkenalkan oleh Emmanuel Levinas, menurut saya dapat membantu kita. Guna memahami ulasan ini, maka sengaja dipaparkan secara praktis-pragmagnis saja. Dengan demikian, kerangka berpikir idealis-filosofis Levinas kurang dinampakkan di sini.
 Sartre adalah bentuk nyata ketegangan seorang idnividu dengan sesamanya secara asali. Boleh dikatakan bahwa dari egoisme individu – entah demi penegasan autentitas manusia atau identitasnya. Pokoknya ini merupakan pernyataan

B. Emmanuel Levinas dan Pemikirannya.
Emmanuel Levinas adalah seorang keturunan Yahudi. Ia dilahirkan di Kaunas, Lithuania, pada tanggal 30 Desember 1906. Lithuania pada waktu itu termasuk Rusia di bawah pemerintahan Tsar dan merupakan daerah di mana agama Yahudi dan Talmud berakar kuat. Bahasa ibunya ialah bahasa Rusia dan bahasa Ibrani. Menurut kesaksiannya sendiri, ia dibesarkan dengan membaca kitab Ibrani, dan pengarang-pengarang klasik Rusia, Tolstoi, dan Pschkin. Beberapa tahun lamanya ia disekolahkan di daerah Ukrania di mana ia menyaksikan peristiwa-peristiwa sekitar revolusi Rusia tahun 1917. Namun ia menyelesaikan sekolah menengah di Kaunas, tempat kelahirannya. Ia kemudian hijrah ke Perancis dan memulai studi filsafat di Universitas Strasbourg pada tahun 1923.
Di Paris, Ia belajar pada Husserl dan Heidegger. Levinas berkenalan pula dengan tiga filsuf kondang Perancis: Gabriel Marcel, Jean-Paul Sartre, dan Jacques Maritain. Pada waktu itu pula ia mengikuti pertemuan-pertemuan antara filsuf-filsuf muda yang diselenggarakan oleh Gabriel Marcel.

  1. Pemikiran Levinas
1.      Konsep-Konsep Dasar Pemikiran Levinas
a. Totalitas
Dengan istilah totalitas, Levinas hendak menjelaskan tentang kerangka berpikir filsafat Barat yang cenderung menyamaratakan realitas. Ini adalah suatu ide yang buruk bagi Levinas yang karenanya harus ditolak.  Menurut Levinas, filsafat Barat selama ini mengejar suatu totalitas. Filsafat Barat senantiasa membangun totalitas, sebuah keseluruhan yang memperjuangkan kesamaan (the same). Levinas menyebut cara berpikir ini sebagai la philoshofhie du Meme (the philosophy of the same), atau filsafat penyamaan. Menariknya lagi, filsafat ingin membangun suatu keseluruhan yang berpangkal pada “ego” (aku) sebagai pusatnya. Karena tradisi filosofis ini selalu bertolak dari dan kembali pada “aku”, maka Totalitas yang selalu dibangun berpangkal dari dan kembali pada ego sebagai pusatnya ini disebut pula oleh Levinas sebagai egologi. Kecenderungan totaliter atau primat “yang-sama” ini merupakan ajaran Socrates: yang tidak menerima sesuatu apa pun dari orang lain kecuali apa yang ada dalam diriku. Karena cita-cita Socratisme ini beranggapan bahwa yang sama mencukupi dirinya, pada identifikasi yang sama sebagai kedirian, pada egoismenya. Ini adalah filsafat keakuan atau egologi. Dalam ajaran Socrates, mengetahui berarti menelanjangkan apa yang ada dari keberlainannya. Dalam hubungan dengan benda-benda, penyerahan “yang lain” ke “yang sama” terjadi melalui perumusan konseptual. Sementara dalam hubungan dengan manusia, penyerahan itu tercapai melalui teror yang menyeret manusia bebas ke bawah kekuasaan manusia tertentu. Socrates pada hakekatnya memandang orang lain hanyalah “Aku lain” (alter ego). Socratisme filsafat Yunani menyamakan yang berlainan melalui prinsip-prinsip metafisik. Levinas mengatakan, sejak Socrates, filsafat Barat selalu mau mereduksikan yang banyak ke yang satu dan kelainan ke kesamaan.
Kerangka berpikir totalitas ini berkembang kuat dan menjadi kokoh dalam Descartes (aku berpikir maka aku ada), Kant (yang menanamkan bibit-bibit idealisme yang kemudian hingga Hegel).
Jadi intinya, dengan istilah totalitas, Levinas memaksudkannya sebagai suatu sikap dasar yang kita ambil untuk memandang serta menguasai segala-galanya dengan diri kita sebagai pusatnya. Kita mengubah realitas di sekitar kita menjadi obyek yang dipandang dan kita menjadikan diri kita sendiri subyek yang mendominasi segalanya. Lebih tepatnya, ide “totalitas” ini berasal dari keinginan manusia sebagai aku yang mau menjadi sempurna dan melengkapi diri sendiri dengan cara menjadikan orang lain sebagai yang diperuntukkan dan atau keuntungan bagiku. Ini menjadi masalah bagi Levinas, karena menurutnya, Ada manusia tidak pernah dapat ditangkap sebagai suatu kebulatan atau totalitas, karena tidak pernah dapat diobyektivikasikan sepenuhnya.

b. Yang Lain (the other)/Infinity (yang tak-terhingga), Autre/ui
Istilah Autre/ui dalam bahasa Prancis mengandung beberapa makna.  Kata tersebut memang berarti sesuatu “yang lain”. Namun sesuatu “yang lain” itu bisa menunjuk pada “barang”, atau suatu hal lain tertentu, atau juga menunjuk pada “orang lain”. Kalau demikian, dalam arti apakah autre/u itu bagi Levinas? “Barang” ataukah “orang”? Untuk itu Levinas menggunakan ungkapan-ungkapan seperti “alterity/alteritas”[1], “Eksteriority”, “Etranger” (yang asing), “yang absolut atau mutlak”. Dengan ungkapan-ungkapan tersebut, Levinas hendak menunjukkan bahwa sesuatu “yang lain” itu haruslah sesuatu yang samasekali di luar dan tak pernah boleh menjadi bagian dari aku, sekali gus bahwa kedirian dan keberlainan dari “yang lain” itu harus dipertahankan secara mutlak. Levinas mengatakan; the absolutely other is the Other.[2] Ia mutlak berarti pasti sebuah subyek yang bereksistensi. Dengan demikian, maka tentu autre/u atau “yang lain” itu bagi Levinas bukan barang, atau sesuatu hal yang lain, tetapi orang, karena hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek yang bereksistensi. Karena itu, Levinas kadang-kadang dengan tegas menggunakan kata “autrui”, sebab kata ini hanya berarti dan menunjukkan orang lain. Yang lain (autrui) itu tak terhingga (Infinity). Atau dengan kata lain, yang tak terhingga itu adalah orang lain. Dengan Yang Tak Terhingga dimaksudkan di sini ialah suatu realitas yang secara prinsipil tidak mungkin dimasukkan ke dalam ruang lingkup pengetahuan dan kemampuan aku. Kedirian dan keberlainan dari “orang lain” itu tetap mutlak. Karenanya, totalitas yang aku ciptakan dengan seksama, langsung pecah dalam perjumpaan dengan “orang lain” – karena ketakterhinggannya

c. Eksteriority
Oleh karena “yang lain” itu berada di luar aku, maka untuk menjumpainya, aku harus keluar dari diriku, imanensi atau interioritasku. Maka dengan orang lain itu tampak suatu eksterioritas – suatu transendesi. Ia membuka suatu dimensi tak terhingga bagi aku. Jadi, orang lain itu bukan alter ego seperti yang sering dikatakan dimasa lampau. Aku tidak dapat mendekati dia dengan bertitik tolak dari “aku”. Dia lain sama sekali, sebagai pendatang atau orang asing (l’Etranger).
Asing terhadap atau samasekali lain daripada aku, tidak hanya berarti “orang lain” itu sama sekali terlepas dari kungkungan aku. Melainkan pula bahwa di dalam dan melalui penampakkan wajah, orang lain itu menyatakan perlawanannya yang mutlak terhadap aku. Karena kemutlakan itu aku sama sekali pasif, tak berdaya apa pun terhadapnya. Mutlak berarti tak dapat ditawar sama sekali, tak dapat dikesampingkan, tak ada batasnya. Maka dalam menghadap orang lain, aku menghadap Yang-Tak-Terhingga. Dimensi ilahi membuka diri dalam wajah orang lain. Namun, bukan secara langsung, seolah-olah dalam orang lain itu Tuhan muncul. Tetapi dalam kemutlakan orang lain muncul sesuatu yang melampaui orang lain itu. Orang lain dalam makna absolut.

2. Hubungan antar manusia
a.      Penopang-penopang suatu hubungan.
Dalam membicarakan hubungan dengan sesama atau orang lain, pertama-tama Levinas menentukan dahulu keberadaan penopang-penopang hubungan tersebut. Sebab, tentu berbicara tentang suatu hubungan mengandaikan adanya pihak-pihak yang menopang hubungan tersebut. Tidak masuk akallah berbicara tentang hubungan, kalau penopang-penopangnya tidak ada. Penopang-penopang  tersebut oleh Levinas dinamakan titik tolak dan titik tujuan. Keduanya saling melengkapi, meski berbeda secara logis.
Titik tolak hubungan ini oleh Levinas disebut “le Même” dalam bahasa Prancis. Lanur3 mengatakan bahwa untuk memahami “le Même” baiklah terlebih dahulu diterangkan sedikit apa yang dimaksudkannya dengan “le Moi”. Bagaimana “le Moi” itu terjadi? Dengan melepaskan diri dari atau dengan mengambil jarak terhadap “yang lain”. Hal ini bisa terjadi oleh sebab adanya suatu prinsip batin, atau rohani. Prinsip batin ini disebut suatu dimensi psikisme, singkatnya psikisme. Karena prinsip batin ini muncullah yang disebut si Aku itu. Lalu ia pun berhubunglah sebagai si Aku, atau secara “egoistis” dengan “yang lain” itu. Perhubungan sebagai si Aku ini juga disebut suatu pemisahan yang radikal. Maka dari itu yang ada yang muncul dari dan karena pemisahan ini adalah suatu ada yang terpisah sama sekali, suatu “être radicalement séparé”; suatu pribadi yang benar-benar berdiri sendiri dan bebas. Pribadi ini juga menyatakan bahwa ia selalu sama dengan dirinya sendiri. Artinya, berhadapan dengan “yang lain” ia tetap sama saja., atau selalu menyamakan diri serta memulihkan identitasnya. Ungkapan ini selanjutnya menyatakan adanya suatu proses identifikasi yang tak ada hentinya dari suatu Aku, suatu pribadi yang satu dan sama. Proses ini juga menyatakan bahwa si Aku, pribadi yang bebas itu benar-benar kongkret dan hidup.
Sebagai titik tolak suatu hubungan yang dimaksudkan oleh Levinas, hendaknya dipahami menurut arti yang akhir ini, yakni “le Moi” tadi. Jadi, titik tolak suatu hubungan ialah suatu aku yang benar-benar otonom dan memiliki diri sendiri.
Berikutnya, mengenai titik tujuan itu Levinas kadang-kadang menggunakan kata “yang lain” (the other), “l’Autre”. Tetapi seperti dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa kata ini pun bisa mengandung beberapa arti seperti barang, suatu hal yang lain, tetapi juga “orang lain”. Selain kata “l’Autre” itu ia juga kadang-kadang menggunakan dengan tegas kata “Autrui”. Dan ini hanya berarti dan menunjukkan orang lain. Jadi titik tujuan hubungan itu haruslah sesuatu yang sama sekali di luar dari dan tak pernah boleh menjadi bagian dari Aku. Kalau demikian halnya, maka hubungan itu adalah hubungan yang terjalin antara ‘si Aku’ dan ‘orang lain’.
Karena “orang lain” itu mutlak maka hubungan yang terjalin haruslah hubungan di mana si aku mau pun dia menjadi penopang-penopang yang tetap mutlak (juga) dalam hubungan tersebut. Artinya, meskipun berada dalam hubungan, aku dan dia sebagai penopang-penopang hubungan tersebut tidak “tenggelam” di dalamnya. Keduanya tetap terpisah secara mutlak dalam dan karena hubungan yang terjalin. Dalam hubungan itu “yang lain” sama sekali diakui dan dibiarkan dalam kedirian serta keberlainannya yang mutlak.

  1. Hubungan yang etis terwujud melalui sapaan ketika munculnya wajah

Ketika orang lain itu muncul sebagai wajah, aku terpanggil untuk bertanggung jawab atasnya. Levinas menunjuk pada sebuah kenyataan; berhadapan dengan orang lain kita selalu sudah terikat tanggung jawab atasnya. Jadi, bagi Levinas, data primordial pertemuan dengan orang lain adalah tanggung jawab etis dalam hubungan dengannya. Tanggung jawab itu menyangkut keselamatan sesamaku itu, kehidupan, dan seluruh eksistensinya. Aku bertanggung jawab mempraktekkan kebaikan dan keadilan kepadanya. Dan ini berlangsung secara asimetris.
Tanggung jawab tadi sebagai peristiwa primordial terwujud melalui bahasa atau sapaan itu sendiri (the saying), kenyataan bahwa seseorang menyapa aku. Ada 2 hal yang penting dalam peristiwa sapaan itu. Pertama, dengan menyapa aku, orang tersebut menyampaikan kepadaku bahwa aku mempunyai arti baginya. Ia “membagi keberartian” kepada aku. Ia tidak hanya memberi “signification” (arti) kepada aku, melainkan signifiance”/”signifyingness”, artinya, ia mendasarkan aku dalam kemungkinan aku untuk berarti. Kedua: Menyapa berarti mengekspos diri. Orang yang menyapa aku seakan-akan ke luar dari perlindungannya. Ia mengambil resiko. Ia dapat ditanggapi, ia dapat terluka. Levinas menegaskan lagi bahwa exposure ini tidak boleh disalahpahami sebagai mengajukan sebuah tema pembicaraan (“tematisasi”) atau sebagai maksud untuk menyatakan sesuatu.

c. Hubungan etis mendapat bentuknya konkret dalam agama

Pengaruh tradisi Yahudi, maka Levinas menempatkan Tuhan sebagai idea terbaik dalam filsafatnya. Maka relasi aku dengan Tuhan tidak dapat dilepaskan dari hubungan etis dengan orang lain. Mengenal Allah berarti mengetahui apa yang harus aku perbuat terhadap sesama. “Allah itu murah hati” berarti “hendaklah engkau murah hati seperti Dia”; “Allah itu kasih, berarti hendaklah engkau memiliki kasih seperti Dia.

d. Keadilan dimulai
Pentingnya Keadilan. Karena “yang lain” itu menyangkut pihak kedua mau pun ketiga. Levinas mengatakan; “kenyataan bahwa orang lain, sesamaku, juga merupakan pihak ketiga dalam hubungan dengan orang lain yang juga seorang sesama, merupakan kehadiran pikiran, kesadaran, keadilan, dan filsafat. Jadi, “adalah orang ketiga dengannya keadilan dimulai”. Levinas menegaskan, “keadilan hanya keadilan dalam sebuah masyarakat di mana tidak dibuat perbedaan antara mereka yang dekat dan mereka yang jauh, tetapi di mana juga tidak mungkin orang yang paling dekat terlewati.
           
4. Penutup
Levinas mengajak kita untuk membangun suatu hubungan manusiawi yang setara dengan menghormati pihak lain berdasarkan kedirian dan keberlainannya. Berhadapn dengan pihak lain, tanpa tawar kita sudah terikat tanggung jawab untuk mempraktekkan kebaikan dan keadilan kepadanya. Hubungan ini bersifat primordial tetapi terbuka untuk direlevansikan ke dalam banyak konteks sosial luas yang berbeda: hubungan gender, hubungan antar agama, antara keindonesiaan dan primordialitas yang berragam, dll.


[1] Emmanuel Levinas, Of God…Op Cit, 11-3.
[2] Emmanuel Levinas, Totality, Op Cit, 39.
3 Alex L, 61-2.

1 komentar: