Kamis, 10 Februari 2011

PERJUANGAN PEREMPUAN INDONESIA


Resensi Buku:
PERJUANGAN PEREMPUAN INDONESIA
Belajar dari sejarah

            1. Pendahuluan
Keberadaan kaum perempuan, disadari atau tidak, telah mengalami pereduksian selama berabad-abad lamanya. Kenyataan sejarah dan budaya secara tegas memperlihatkan bahwa perempuan mengalami subordinasi peran dan fungsi baik secara individual maupun sosial. Perempuan telah dimarginalisasikan dan diviktimisasikan hanya oleh karena ia seorang perempuan. Bukan ia yang menciptakan situasi demikian, melainkan sebuah tatanan struktur budaya patriakhal yang tercipta telah melahirkan dinamika tersebut. Akibatnya, sekalipun ia berteriak, menyatakan aspirasinya, namun dominasi kekuasaan laki-laki menenggelamkan harapannya. Bahkan berbagai produk undang-undang dihasilkan oleh kaum laki-laki, turut bertendensi melegalkan diskriminasi gender ini.
Hal ini jelas terlihat pada peran yang dimainkan dalam ruang domestik dan publik, yang secara implisit telah memasung kebebasan ekspresi diri manusia, seorang perempuan. Ini merupakan sebuah tindak kekerasan (psikis), dan akar kekerasan ini bermuara pada satu titik yaitu kekuasaan! Arogansi laki-laki untuk menunjukkan superioritasnya atas perempuan secara langsung turut melanggengkan ketidakadilan berbasis gender. Ironisnya, fenomena ini menjadi sebuah kultur, bahkan warisan yang terus dilestarikan. Sementara kaum laki-laki melupakan sebuah kebenaran, bahwa sejarah budaya yang tercipta tidak hanya digoreskan oleh pena-pena laki-laki, tetapi di dalamnya juga ada peranan perempuan. Persoalannya lagi, generasi penerus bangsa tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang peran perempuan dalam sejarah, karena tidak pernah diekspos.
Dengan alasan inilah – dalam konteks Indonesia, buku “Perjuangan Perempuan Indonesia: Belajar Dari Sejarah”, dihadirkan. Buku ini terbagi atas delapan bagian, yaitu 1) Gerakan Perempuan Indonesia sebelum 1928, 2) Era Sumpah Pemuda 1928-kemerdekaan 1945, 3) Era Soekarno: Pergulatan antara Kepentingan Perempuan, Golongan dan Bangsa, 4) Perempuan Orde Baru: Antara Fiksi dan Historis, 5) Gerakan Perempuan Indonesia setelah Orde Baru, 6) Perjuangan Kaum Perempuan: Quo Vadis?, 7) Perempuan dalam Politik: Belajar dari Sejarah (Tinjauan Positif Normatif), 8) Perempuan dalam Politik dan Bias Gender.

2. Jabaran isi buku
 Walau pun bangsa kita baru menjadi suatu bangsa yang bernama Indonesia per 17 Agustus 1945, namun perjuangan-perjuangan membebaskan diri dari penjajahan sebelum kemerdekaan itu merupakan bagian dari menjadi bangsa Indonesia. Bahkan era sebelum adanya niat atau tekad untuk menjadi suatu bangsa di 28 Oktober 1928 yang ditandai dengan “Sumpah Pemuda”, yang mana bangsa-bangsa di Nusantara ini masih berjuang masing-masing demi kemerdekaan sendiri-sendiri, juga merupakan masa pra-Indonesia. Apalagi dengan tekad 1928 untuk menjadi satu bangsa, ini memperlihatkan betapa pentingnya sejarah bagi suatu bangsa yang disebut Indonesia. Dalam pengertian itu, maka keterlibatan kaum perempuan dalam perjuangan era pra-Indonesia itu, baik sebelum 1928, mau pun sejak 1928 hingga menjelang kemerdekaan 1945, pun harus diperhitungkan.
Nukman Firdausie yang membahas “Gerakan Perempuan Indonesia sebelum 1928” ini, menyatakan bahwa memang gerakan perempuan sebagai organisasi modern baru dimulai pada abad ke-20. Tetapi, sesungguhnya di masa penjajahan Belanda, para pejuang perempuan telah memulai gerakan secara perorangan yang kemudian bahkan menjadi inspirator dalam perjuangan bangsa. Kekuasaan dan pendudukan Belanda di berbagai kepulauan tanah air, telah membuat rakyat pribumi mengalami penderitaan yang tak tertahankan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kaum penjajah bertendensi meraup kekayaan alam bangsa. Sehingga hal ini tentu menimbulkan bergolaknya perlawanan rakyat sebagai sebuah bentuk reaksi terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang dialami. Dalam kondisi ini, tidak hanya kaum laki-laki yang berjuang, tetapi para perempuan juga ikut secara aktif menunjukkan partisipasi untuk membela bangsanya. Mereka adalah para pejuang yang gigih, seperti Martha Christina dari Maluku, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, karena bersama-sama dengan kaum lelaki daerahnya, berjuang hingga akhirnya nyawa menjadi taruhan. Para perempuan ini berjuang secara perorangan – bersama suami, tanpa bergantung pada organisasi politik tertentu. Para perempuan ini secara langsung telah memperjuangkan harkat dan martabat keperempuanannya secara sosial dan non-politis. Hal ini dikarenakan mereka masih terikat dengan ayah atau suaminya yang menentukan tindakan apa yang harus dilakukan mereka. Sehingga, isu-isu yang berkembang di seputar pergerakan perempuan pada masa ini hanya terbatas pada lingkup sosial, sedangkan politik belum berada dalam jangkauan.
Namun setelah tahun 1920, organisasi perempuan secara kuantitas kian meningkat karena adanya kesempatan untuk belajar semakin meluas. Organisasi perempuan yang ada bersifat primordial dan juga berlandaskan agama, seperti Sarekat Perempuan Islam Indonesia (SPII), Aisiyah, Ina Tuni, dan Perempuan Perti. Selain kongres-kongres yang diselenggarakan, gerakan perempuan ini juga menyadari pentingnya media sebagai wahana penyaluran informasi. Daya cipta dan kreativitas yang dimiliki membuat para perempuan menunjukkan eksistensi mereka melalui surat kabar atau majalah yang diterbitkan di kota-kota mereka.
Sementara dalam Era Sumpah Pemuda hingga kemerdekaan (1928-1945), Organisasi dalam berbagai bentuknya tidak memiliki kebebasan penuh untuk mengekspresikan atau mengakomodir kepentingannya. Helda Khasmi menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh dominasi kekuasaan pemerintahan kolonial yang menekan dan menindas organisasi rakyat agar tidak melakukan perlawanan. Aktivitas yang berbau politik tidak mendapat dukungan karena dianggap bersifat mengancam pemerintah. Namun dalam era Sumpah Pemuda-Kemerdekaan ini, geliat perempuan tak begitu diam. Hal ini terbukti dengan terbentuk beberapa organisasi perempuan dan diselenggarakannya kongres-kongres sebagai sebuah wadah aspiratif. Para perempuan tidak hanya memberikan fokus perhatian pada perempuan saja tetapi juga anak-anak. Kaum perempuan menekankan pentingnya pendidikan, perkawinan, dan hak suara.
Selanjutnya, memasuki era kemerdekaan atau masa Soekarno, ini tidak serta-merta memerdekakan perempuan. Kemerdekaan boleh menjadi milik bangsa, namun tidak berlaku total bagi perempuan. Budaya patriarkal masih terus terpelihara. Akibatnya, posisi perempuan tetap bersifat dialektis di mana ia dapat menjadi partisipan aktif tetapi sekaligus obyek penindasan patriarkis. Dalam kondisi ini, tokh perempuan masih terlibat secara aktif dalam ormas-ormas perempuan, berafiliasi dengan partai-partai politik, bahkan yang berbasis agama. Dengan keterlibatan itu, tentu secara langsung para perempuan juga memberikan dukungan terhadap kepentingan-kepentingan ormas atau pun parpol, yang di dalamnya meliputi kepentingan bangsa, golongan, dan juga kepentingan perempuan sendiri. Namun, oleh karena berada pada organisasi yang berbeda, maka tujuan dan kepentingannya juga berbeda-beda. Terutama dalam hal kepentingan perempuan, ini nampak pada isu poligami. Ada perbedaan sikap yang ditunjukkan di antara para perempuan. Kartini, dalam surat-suratnya menyebut praktik poligami sebagai “neraka”, dan “kejahatan berukuran raksasa.” Secara organisasi PERWARI dan GERWANI juga menolak praktik poligami, namun Aisyiyah tidak pernah menyatakan penolakannya terhadap poligami, walau pun secara pribadi, para aktivitasnya banyak yang menentang.
Lalu, datangnya masa orde baru. Kekuasaan otoriter Soeharto ini ternyata tidak hanya menindas mereka yang dikaitkan dengan PKI – di mana efek kebijakan orde baru melahirkan kekerasan fisik maupun non-fisik bagi perempuan-perempuan istri tahanan G-30 S PKI dan sebagian besar rakyat, tetapi perempuan pun makin tereksploitasi. Orde Baru dalam upaya menstabilkan kondisi sosial dan politik dalam proses pembangunan, telah menyerap tenaga kerja (kebanyakan perempuan) di sektor pertanian dan industri. Perempuan menjadi korban dari struktur dan hegemoni kekuasaan laki-laki. Pemerasan tenaga dan waktu terhadap perempuan sebagai buruh, dan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap mereka. Kasus Marsinah yang kontroversial dan misterius adalah salah satu dari sekian banyak kasus. Konon, terbunuhnya Marsinah akibat ia memberi aspirasi dan inspirasi bagaimana  sebenarnya posisi buruh perempuan sebagai posisi yang penuh dengan resiko, serta unjuk rasa menuntut kenaikan upah harian buruh dari Rp. 1.700 menjadi Rp. 2.250. Namun, sebuah penghancuran total dunia keperempuanan Indonesia dilakukan. Hal ini terlihat dari otopsi dokter bahwa selain dipukul, vagina gadis berusia 23 tahun itu ditusuk besi dan kayu. Marsinah pada saat itu bekerja sebagai buruh di pabrik PT. Catur Putra Surya di tempat persis di mana Lumpur Lapindo sejak 2006 menjadi sumber tragedi kemanusiaan.
Namun berakhirnya orde baru, gerakan perempuan di Indonesia juga mengalami kemajuan. Ia bagai riak yang mulai dari individu-individu dalam keluarga dan menjalar ke ranah publik lokal. Gerakan perempuan membawa angin segar bagi kehidupan berbangsa. Dalam kasus pertikaian di Poso, banyak biarawati bersama-sama dengan para perempuan Islam membantu para korban Poso. Ini menjadi bukti bahwa gerakan perempuan juga tidak hanya menaruh kepedulian pada kelompok organisasi mereka saja, namun mereka mampu menembusi celah rasisme, agama yang kadang kala menjadi sumber konflik. Namun bagaimana pun, dalam masa ini pun, ketidakadilan masih terus menerus dialami, seperti isu-isu RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang digaungkan oleh para wakil rakyat belum menguntungkan kaum perempuan. Hal ini menegaskan bahwa ideologi gender yang dianut masih melahirkan sistem patriakhal di mana perempuan terus tersubordinasi.
 Terhadap situasi ketidakadilan gender ini, J.B. Banawiratma mengatakan bahwa ada beberapa hal penting berkaitan dengan perjuangan kaum perempuan di Indonesia sekarang ini. Pertama, dua nilai kebudayaan yang diperjuangkan bersifat emansipatoris, yakni menuntut pembebasan dari ketidakadilan, dan nilai yang bersifat partisipatoris untuk ikut serta dalam seluruh proses kehidupan bersama. Dan ini dilakukan dengan pendidikan bagi kaum perempuan, baik secara formal mau pun nonformal. Kedua, gerakan perempuan Indonesia mesti terlibat secara aktif dalam perpolitikan, untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama dan berperan dalam kekuasaan politik. Perlunya relasi yang kuat dengan partai politik, yang dapat menjadi salah satu akses pengakomodiran aspirasi perjuangan perempuan. Ketiga, keberadaan perempuan sangat kontras dalam dunia ekonomi, di mana ambiguitas penerimaan terhadap perempuan menunjukkan bahwa perempuan pada level tertentu diakui, namun lain pihak sama sekali masih dimarginalkan. Keempat, komunitas bisa berfungsi positif maupun negatif terhadap kaum perempuan secara individual maupun kolektif, karenanya komunitas harus berjuang pula. Kelima, oleh karena berbagai ketidakadilan yang masih dialami oleh perempuan, maka perlu diupayakan sebuah perjuangan yang bersifat holistik.
Ini penting supaya partipasi perempuan seperti yang diperlihatkan dalam perspektif historis, yang mana kaum perempuan telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam sejarah bangsa, terus dikembangkan. Sehingga keterlibatan perempuan dalam partai politik bahkan menjadi calon-calon anggota legislatif yang disadari secara kuantitas masih sedikit, harus ditingkatkan. Harus diakui, bahwa perempuan memiliki hak dan dapat berpartisipasi dalam dunia politik. Upaya ke arah ini harus terus dilakukan, sehingga diharapkan pemberdayaan terhadap perempuan dapat terwujud. Sebab bila tidak, maka ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan, yang telah menembusi dunia perpolitikan akan terus berlangsung. Sistem dan struktur budaya patriakhal yang telah menciptakan pembagian ruang berdasarkan gender ini harus diatasi. Anggapan bahwa perempuan irasional atau emosional, yang menyebabkannya dianggap tidak dapat menjadi pemimpin, harus dijauhkan.




3. Penutup.
Psikoanalis sosial Erich Fromm mengatakan bahwa sekitar enam ribu tahun lalu, patriarki menaklukan perempuan, dan sejak itu, masyarakat mulai terorganisasi dalam dominasi laki-laki. Perempuan menjadi hak milik laki-laki, dan harus berterima kasih atas kebaikan hatinya. Pernyataan ini bukannya tanpa bukti historis. Sejarah bangsa-bangsa sejak zaman kuno memperlihatkan bahwa keberadaan perempuan seringkali hanya sebagai budak atau pelayan seks seorang raja (yang adalah seorang laki-laki), bahkan walau pun dengan alasan mengawini mereka. Secara teoritis pun para pemikir besar turut melanggengkan paradigma itu melalui argumentasi intelektual. Barangkali karena begitu kuatnya budaya ini, sehingga para pejuang kebenaran yang melahirkan sejarah di abad sebelum masehi ini pun luput dari kesadaran akan kemanusiaan perempuan. Filsuf Plato mengatakan bahwa seorang laki-laki dihormati karena kemampuannya memerintah (menjadi pemimpin), sementara perempuan dihormati karena kemampuannya dalam melakukan pekerjaan yang sederhana dengan diam tanpa bicara (penurut) – bagi Plato pemerintah sebaiknya dipegang oleh para pemikir. Demosthenes berpendapat, isteri (Perempuan) hanya berfungsi melahirkan anak. Aristoteles bahkan menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, setengah dari (manusia) laki-laki.
Akibatnya tidak heran kalau sejarah menjadi sejarah laki-laki saja, tanpa disadari bahwa kehidupan tak akan terus berlangsung – sehingga juga tak mungkin ada sejarah, tanpa manusia yang satu, sang perempuan.  Ini terlihat dalam mana peranan perempuan dalam sejarah bangsa-bangsa terabaikan, dan yang terukir hanyalah laki-laki. Dalam konteks Indonesia, para pejuang perempuan yang turut berperan dalam proses kemerdekaan dan keberlangsungan Bangsa Indonesia juga kurang diperhitungkan keberadaannnya. Akibatnya, budaya patriarki terus dilestarikan, sehingga perempuan masih mengalami diskriminasi, kekerasan dan penindasan.
Namun, Erich Fromm pun mengatakan bahwa tak akan pernah ada dominasi satu golongan terhadap golongan yang lain tanpa memicu pemberontakan bawah sadar, kemarahan, kebencian dan hasrat membalas dendam dalam diri orang-orang yang tertekan dan tertindas. Barangkali ini juga salah satu faktor dibalik munculnya gerakan-gerakan feminisme di abad ke 20, yang alhasil menumbuhkan kesadaran banyak orang untuk menggugat ketidakadilan gender yang terjadi selama ini, serta mendorong perjuangan semua pihak untuk menciptakan kemanusiaan yang adil dan benar. Semangat juang semacam itu turut menginspirasi Bina Darma untuk mengangkat kebenaran-kebenaran lain yang terabaikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yakni keberadaan perempuan. Aksi Lembaga pengembangan Sumber Daya Manusia (Yayasan Bina Darma) yang terwujudkan dalam bentuk seminar tentang perempuan ini, lalu terekam dalam buku tersebut. Jadi, buku ini dihadirkan dengan tujuan menjabarkan sejarah bangsa dari sisi lain - perempuan, dan juga mendukung kemanusiaan yang adil dan benar bagi perempuan. Di sinilah letaknya keunggulan buku ini. Sehingga bagi anak-anak bangsa yang ingin memahami sejarah bangsa Indonesia secara komprehensif, dan yang mencintai manusia yang lain sebagai manusia yang sama luhur dengan dirinya – perempuan, dapat membaca buku ini. Jadi buku ini penting dibaca agar perjuangan bangsa menuju keadilan sosial ( keadilan sosial bagi seluruh anak bangsa sesuai sila ke 5 pancasila), dan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke 2) diupayakan oleh kita. Keadilan sosial ini harus berlangsung dalam konteks gender di mana tiap-tiap warga (laki-laki dan perempuan) memiliki hak-hak dan peluang yang sama dalam berbagai ruang lingkup kehidupan. Sementara kemanusiaan yang adil dan beradab dalam konteks ini adalah terciptanya suatu hubungan yang setara antara manusia laki-laki dan manusia perempuan, yang saling menyapa atau berdialog sebagai I – You (Martin Buber), saling menghidupi sebagai Subyek – Subyek (Gabriel Marcel), dan mempraktekkan tanggung jawab kebaikan kepada yang lain, dalam relasi yang tetap tak menenggelamkan (mengobyekkan) pihak yang lain (Emmanuel Levinas). Selamat membaca, dan mau menjadi pejuang!



Oleh: Roubrenda Ralahallo & Gusti Menoh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar