Kamis, 10 Februari 2011

REVITALISASI PANCASILA SEBAGAI UPAYA REKONSTRUKSI IDENTITAS KEINDONESIAAN



1. Latar Belakang Permasalahan
Sebagai warga Negara Indonesia, sadar atau tidak, kita masih berada dalam situasi di mana rasa nyaman sebagai warga bangsa terusik. Aroma pertentangan antar SARA terasa menyebar ke seluruh penjuruh tanah air, memicu kesalingcurigaan, melahirkan konflik antar warga, agama, suku, dan lain sebagainya, serperti yang telah terjadi di Ambon, Poso, Papua, Kalimantan, Jawa, dan lainnya. Bersamaan dengan itu, sebagai bangsa kita juga didera oleh pelbagai persoalan yang diakibatkan oleh alam mau pun ulah manusia. Bencana alam berupa tsunami, gempa, longsor, banjir, serta berbagai kecelakaan transportasi baik darat, laut mau pun udara seolah tak mau kalah dengan menelan banyak korban jiwa serta harta kekayaan. Belum lagi berbagai kasus korupsi dan kemiskinan masih merambah bagaikan penyakit menular yang tak kenal henti. Semua ini menjadi kondisi internal yang sedang menggerogoti Bangsa.
Sementara dari faktor eksternal, Globalisasi menjadi arus tersendiri yang menggerogoti Bangsa karena kehadirannya justeru melahirkan ketegangan yang malah memunculkan hasrat komunitas-komunitas lokal untuk mewujudkan identitas khas (entah agama, suku, budaya, dll) masing-masing – karena dianggap mengganggu.
Sayangnya lagi, tantangan-tantangan ini tanpa sadar membuat kita lupa akan nilai dasar kita sebagai perekat persatuan dan kesatuan yang mampu merekatkan dan menyemangati kita untuk menghadapi semua problematika tersebut. Sebab kenyataannya, kita cenderung mencari jalan masing-masing dan bahkan mau memaksakan nilai primordial kita atas ke-Indonesiaan, yang sesungguhnya hanya memperparah situasi, karena justru mengarah kepada disintegasi bangsa. Kemunculan kelompok-kelompok keagamaan yang tak mau berkompromi (FPI, Salafi, Hizbuth, dll) – bahkan menganggap yang lain sebagai musuh, diberlakukannya Syariat Islam di Aceh, masih adanya gerakan-gerakan kemerdekaan di Papua, dan lain sebagainya adalah bukti nyata dari kedistabilan bangsa ini yang mengarah pada disintegrasi.
Dalam situasi yang tak menentu ini, muncul banyak pertanyaan; Dapat bertahankah Indonesia? Qou vadis Indonesia? Apa yang harus dilakukan? Dll.
Terhadap semua pertanyaan itu, jawabannya hanya satu: Revitalisasi Pancasila adalah keharusan – bukan lagi pilihan, bila masih ingin mempertahankan keIndonesiaan. Oleh karena itu, tulisan ini akan dilanjutkam dengan memperjelas konsep KeIndonesiaan sebagai identitas bangsa, pemetaan lebih mendalam permasalahan serta analisis terhadapnya, dan ditutup dengan menegaskan Pancasila sebagai perekat eksistensi Bangsa.
2. Konsep KeIndonesiaan – Identitas Bangsa
John Titaley[1] mengatakan bahwa untuk memahami Indonesia dengan baik, maka titik tolak yang paling baik adalah melihatnya sebagai suatu fenomena baru, yang baru ada sejak 17 Agustus 1945. Sebab sebelumnya, yang ada hanyalah fenomena pra-Indonesia, seperti lahirnya tekad untuk menjadi satu bangsa melalui Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Pada masa pra-Indonesia itu, bangsa-bangsa (Majapahit, Sriwijaya, Maluku, dll) ini independen satu terhadap yang lain, karena kita belum memiliki satu negara yang dapat membina dan mengembangkan kebangsaan itu. Barulah ketika kita berhasil memproklamasikan kemerdekaan kita per 17 agustus 1945, kita menjadi bangsa yang resmi bernama Indonesia. Ini adalah suatu realitas baru yang di dalamnya ada kesalingterimaan antar warga dari Sabang sampai Merauke, dengan kawasan geografis dan sosial  yang terdiri atas 17.600an pulau besar kecil, dengan 400an sistem budaya dan sub-budaya, dengan 300an bahasa yang berbeda, dengan 5 agama resmi di samping agama-agama suku, yang telah menjadi satu dalam bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai payung pemersatunya.[2]
Ketika itu terjadi, kita sudah bukan hanya orang Bali saja. Kita sekaligus juga orang Indonesia bersamaan dengan keBalian kita. Pada zaman kolonial memang keberadaan kita adalah keberadaan kesukuan dan identitas kita adalah identitas kesukuan. Dalam identitas kesukuan itu, sebelum merdeka kita memiliki budaya daerah (suku) sendiri-sendiri dengan berbagai adat-istiadatnya. Termasuk dalam keadaan ini adalah kenyataan beragama kita masing-masing, entah itu agama suku (indigenous religion) atau agama dunia (world Religion). Semua ini dikategorikan sebagai identitas primordial. Akan tetapi setelah merdeka, kita juga memiliki identitas yang baru sebagai bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Ini dikategorikan sebagai identitas nasional.[3] Dengan demikian, kita memiliki dua identitas – primordial dan nasional, yang karenanya kita harus siap hidup dengan kedua-duanya. Dan yang terpenting dari konsep kebangsaan dengan dua identitas ini adalah; adanya nilai kebebasan (kemerdekaan) dan kesetaraan kemanusiaan bagi seluruh komponen anak bangsa.

3. Pemetaan Permasalahan (utama) serta analisis terhadapnya
Permasalahan yang menggerogiti KeIndonesiaan sebagaimana yang disinggung di atas sangat kompleks dan luas. Karena itu, guna membatasi fokus analisa, kiranya persoalan utama saja yang akan dikupas. Setidaknya ada 2 persolan besar yang mengganggu keindonesiaan kini.
a.      Kondisi Sosial Politik Yang Tidak Adil di Zaman Orde Baru Menjadi Sebab Lebih Mendalam Tendesi ke Arah Disintegrasi Bangsa.
Sesungguhnya, tidak berarti tidak ada tendensi-tendensi disintegratif sebelumnya. Adalah wajar bahwa dalam perkembangan suatu masyarakat, kecenderungan semacam itu muncul, dan hal ini memang nyata dalam perjalanan bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya. Namun yang paling nyata adalah ketika lengsernya pemerintahan otoriter Soeharto. Pertanyaannya, mengapa tendensi semacam itu begitu kuat mencabik-cabik kesatuan bangsa di awal era reformasi itu? Sebagaimana menjadi pengalaman bersama, di sekitar tahun 1998-2000, hampir tak ada hari di mana tak ada kerusuhan, ada yang besar dan mengerikan; dan ada pula yang kecil. Dalam tahun-tahun ini, nyawa orang terancam, bahkan di bunuh, akumulasi kerusuhan, tindak kekerasan, konflik vertikal dan horisontal, begitu serius.
Frans Magnis-Suseno[4] mengemukan bahwa sebab lebih mendalam dari tendensi ke arah disintegrasi ini adalah akibat 2 kebijakan yang salah di Orde Baru, yaitu depolitisasi dan pembangunan yang tidak memenuhi syarat minimum keadilan dalam pandangan masyarakat. Pertama mengenai depolitisasi; masyarakat seluruhnya di atur dan diurus dari atas – hal mana Soeharto mengukuhkan Golkar sebagai partai pemerintah yang mengendalikan seluruh proses politik. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk memecahkan persoalan yang ada secara wajar, artinya dengan mengekspresikannya, secara diskursif-argumentatif-rasional. Pada waktu bersamaan – kedua, demi pembangunan atas nama negara – yang di sisi lain juga menjadi kesempatan bagi elite politik melakukan korupsi, sementara masyarakat semakin banyak dituntut pengorbanannya: tanah harus dilepaskan bagi proyek pemerintah, mereka digusur dari tanah dan pekerjaan. Dan itu selalu tanpa musyawarah, disertai ancaman bahwa yang tak bersediah adalah PKI. Akibatnya: rakyat menjadi marah dan pustus asah sehingga reformasi menjadi suatu euforia kebablasan sehingga penjarajan dan pembunuhan menjadi hal wajar. Masyarakat pun terpecah ke dalam kelompok-kelompok primordial ekslusif karena jangkauan perasaan persatuan dan loyalitas sosial semakin menyempit.
Inilah kiranya elemen-elemen dasar yang menjadi tendensi-tendensi ke arah disintegrasi bangsa, yang bahkan memang telah nyata dengan lepasnya Timor Timur, dan tentu saja seperti masih adanya gerakan-gerakan separadis yang ingin memisahkan diri akibat masih adanya ketidakadilan dalam pembangunan dan sistem politik yang tidak demokratis.

 b.      Tantangan Pluralisme – Ketegangan antara identitas primordial dan identitas nasional terhadap keIndonesiaan
Pluralisme modern yang menuntut kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara dan sebagai manusia pada akhirnya juga berdampak pada pluralisme keyakinan politik, agama dan moral, yang menuntut kesamaan juga dalam bidang-bidang ini. Dalam konteks Indonesia, nampaknya hal itu (kesamaan) jauh dari harapan. Sebab pluralisme (agama) sendiri diharamkan (oleh MUI), apalagi bicara tentang kesamaan – sebab polemik mayoritas Vs minoritas, asli Vs pendatang, jawa Vs non-jawa, dstnya masih menggema. Maka, terutama pluralisme agama adalah juga tantangan besar bagi persatuan bangsa. Sebab kenyataannya, entah karena ketaatan yang begitu tinggi terhadap keagamaan, atau sekedar reaksi terhadap tantangan globalisasi sebagaimana disinggung di atas, hasrat primordialisme agama begitu kuat, dan sayangnya seringkali berlaku kekerasan untuk memaksakan nilai-nilainya atas Indonesia. Bahkan kelompok yang tidak searah dengan mereka, termasuk komunitas keagamaan yang lain dianggap musuh yang harus ditiadakan. Dalam kondisi ini, hukum positif mau pun etika kebangsaan yang berlaku diabaikan.
Bila gerakan keagamaan yang ekslusif semacam ini terus dibiarkan mengontrol negara, maka kehancuran (perpecahan/perpisahan) makin dekat di ambang pintu. Hal ini tak terelakkan karena eklusivisme primordial keagamaan ini menyangkal pluralitas bangsa dan mau memaksakan identitas kelompoknya sendiri pada wagra bangsa yang lain, mereka tidak bersediah berkompromi, apalagi menerima pihak yang berbeda. Keterbukaan, dialog, kebebasan (kemerdekaan) dan kesetaraan kemanusian yang termaktub dalam Pancasila tidak mungkin terwujud dalam kondisi ini. Sebab keberadaan identitas primordial – agama, hendak menggantikan posisi identitas kebangsaan yang lebih terbuka – pancasila.

4. Penutup – Revitalisasi Pancasila sebagai Keharusan
Apa pun yang telah dan sedang terjadi, sesungguhnya masih ada harapan. Pancasila dan UUD 1945 adalah modal utama kita bereksistensi sebagai bangsa Indoneisia. Pancasila sebagai ideologi bangsa yang sarat makna, sesungguhnya masih relevan sebagai sunmber rujukan, sumber pencerahan, inspirasi dan jendela solusi di masa yang penuh tantangan dan ancaman (Pidato Presiden SBY dalam memperingati lahirnbya Pancasila, 1 Juni 2006).
Terhadap persoalan pertama – depolitisasi dan ketidakadilan dalam pembangunan, Pancasila (tentunya juga UUD 1945) jelas menolak itu. Sebab Pancasila dan UUD 1945 menjamin pembangunan yang adil demi kesejateraan seluruh rakyat. Hal ini jelas dalam Sila ke-5 Pancasila, dan pasal 34 UUD 1945. Sementara menyangkut Hal politik,  negara Indonesia sebagai penganut demokrasi, jelas menghormati kebebasan politik (band pasal 28 UUD 1945 yang menjamin hak berkumpul, berserikat, dll)
Sementara persoalan pluralitas, bangsa Indonesia yang menyadari realitas ini sejak berdirinya, hal itu telah diatur dan dijamin sejak awal. Dirumuskannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Founders Fathers adalah bukti nyata adanya kesediaan untuk hidup berdampingan dalam kesetaraan menghadap Yang Esa itu. Dalam bahasa Titaley, dengan memeluknya identitas nasional sebagai konsekuensi sebagai bangsa Indonesia, agama-agama haruslah bersediah hidup secara inklusif dan saling menerima dalam pembanguan bangsa – sebab agama-agama hanyalah identitas primordial kita sehingga tidak boleh memaksakan sila pertama itu dengan kekhasan agamanya saja (satu agama), lalu memaksakan nilainya menjadi yang paling asli untuk keIndonesiaan, dan menjadikannya ukuran moral dalam kehidupan kebangsaan. Ketika ini terjadi, pluralitas agama bukan lagi menjadi pendukung kebangsaan, tetapi malah menjadi pemicu disintegrasi bangsa. Tentu saja masih banyak persoalan lain yang menggangu keIndonesiaan, tetapi sesungguhnya Pancasila telah menjamin persatuan bangsa ini, apa pun permasalahannya.
Maka, revitalisasi pancasila menjadi keharusan sebagai rekonstruksi identitas bangsa, berarti bangsa ini harus menghidupkan kembali arti pancasila sebagaimana yang diperlihatkan sejak awal munculnya, yakni adalah kesepakatan rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara, dimana semua warga masyarkat sama kedudukannya, sama kewajibannya dan sama haknya, jadi tanpa diskriminasi, tanpa membedakan agama masing-masing,[5] dan semuanya itu harus dilindungi oleh negara. Realisasi nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan, serta kesejateraan sosial semacam itu dengan sendirinya  akan memperkokoh persatuan bangsa Indonesia.


Kepustakaan Pilihan
John Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual, Salatiga, UKSW, 2001
Djaka Soetapa, Gereja dan Agama-agama lain, dalam Format Rekonstruksi Kekristenan, Jakarta-Salatiga, Sinar Harapan – Bina Darma, 2006
Frans Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta; Gramedia, 2001
-------------------, Pancasila Tetap Dasar Eksistensi R. I., (makalah seminar agama dan negada di Salatiga, yang diselenggarakan oleh Bina Darma, 30 Agustus 2006)
-------------------, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006


[1]. John Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual, Salatiga, UKSW, 2001, hlm 23
[2]. Djaka Soetapa, Gereja dan Agama-agama lain, dalam Format Rekonstruksi Kekristenan, Jakarta-Salatiga, Sinar Harapan – Bina Darma, 2006121
[3]. John Titaley, Op.Cit, hlm 24
[4]Frans Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta; Gramedia, 2001, hlm 26-27
[5] Frans Magis-Suseno, Pancasila Tetap Dasar Eksistensi R. I., (makalah seminar agama dan negada di Salatiga, yang diselenggarakan oleh Bina Darma, 30 Agustus 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar