Minggu, 13 Maret 2011

Sejarah Perkembangan Filsafat Modern

HUBUNGAN ANTAR MANUSIA MENURUT EMMANUEL LEVINAS (2)


Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush dalam pidato kenegaraannya di tahun 2002, menyebut Iran, Irak, dan Korea Utara sebagai poros kejahatan (axis of evil). Dan baru dalam pidato awal Maret lalu (2006), Bush menjelaskan alasan menggunakan julukan itu. Sebab, kata Bush, dia prihatin dengan negara-negara yang ‘tidak transparan’ dan telah menyatakan berniat mengembangkan senjata-senjata nuklir. Bush mengatakan: “saya sudah mengatakan sebelumnya bahwa ada poros kejahatan dan poros itu mencakup Iran serta Korea Utara. Saya mengatakan demikian karena saya prihatin dengan pemerintahan-pemerintahan Totaliter yang tidak transparan, yang menyatakan niatnya untuk mengembangkan senjata nuklir” (Suara Merdeka; 21 Maret 2006, 13). Terlepas dari berbagai latar belakang kepentingan lain, Amerika Serikat memiliki alasan keamanan dunia secara global – menempatkan diri sebagai polisi dunia demi keselamatan seluruh umat manusia dalam level global, sementara Korea Utara dan Iran merasa pantas mengembangkan Uranium. Bahkan dengan alasan sebagai negara berdaulat.
Pernyataaan Russel tentang munculnya negara adikuasa untuk menghapuskan kedaulatan nasional dan angkatan bersenjata nasional, dan mengggantikannya dengan satu pemerintahan internasional tunggal yang memiliki monopoli atas angkatan bersenjata, sebagai cara mengakiri persaingan kekuasaan, harta kekayaan, dll. (Lih Bab II) nampaknya nyata dalam kasus di atas.
Ketegangan antara penyamarataan “budaya MacWorld” dan hasrat komunitas-komunitas lokal untuk mewujudkan identitas khas, kadang-kadang (diantara) primordial mereka masing-masing, antara kekuatan-kekuatan pemersatu globalisasi di satu pihak dan konflik semakin banyak pandangan hidup, religius, moral, ideologis yang tidak mau bersatu di lain pihak sebagai mana dikemukan Magnis Suseno adalah bagian dari situasi ini (lih Bab 1). Bahkan dalam konteks Indonesia, ketegangan antara identitas primordial seperti kesukuan, budaya, ras, golongan, agama dll dengan identitas nasionalnya yang bernama bangsa Indonesia pun nyata, bahkan menimbulkan berbagai gejolak konflik (lih Bab IV, relevansi).
Dalam situasi-situasi demikian, pemikiran filosofis Levinas dapat menjadi tawaran solusi. Sebab apa yang dialami (dalam perang dunia kedua) dan diikirkan (dalam tradisi filsafat Barat) oleh Levinas memang masih nyata dalam konteks sekarang. Pertama, Levinas hidup dalam situasi sosial politik yang paling mengerikan. Orang-orang Yahudi sebagai komunitas ras lain, yang minoritas, pendatang, yang dianggap lain, menjadi korban dalam kekejaman Nazi. Dengan keberadaan mereka yang “berlainan ras”, “minoritas” dan “asing” itu lalu mereka mendapat perlakukan yang diskriminatif dan kekerasan. Bahkan menurut Levinas, apa yang terjadi dalam abad kedua puluh itu, hanya merupakan puncak dari perlakukan yang diskriminatif terhadap mereka sepanjang sejarah. Mengapa hal itu terjadi? Menurut Levinas, ini terjadi karena orang dalam kedirian dan keberlainannya itu – “minoritas”, “asing”, “dia lain dari aku”, “kecil”, dan lain sebagainya” lalu tidak dihargai. Dan dalam hal ini, Levinas menuduh tradisi filsafat barat sebagai yang paling bersalah karena cenderung menyamaratakan yang berbeda dan yang berlainan dalam sebuah totalitas. Filsafat barat, menurut Levinas selalu mereduksikan yang “banyak” ke yang “satu” dan “kelainan” ke “kesamaan”. Levinas bahkan berkesimpulan bahwa pemikiran totaliter ini justeru merupakan salah satu unsur latar belakang dibalik semua bentuk penindasan, pemerkosaan, pembunuhan, dan diskriminasi terhadap orang yang “lain daripada kita”, yang terjadi sepanjang sejarah.
Maka, sebagai solusi atas kerangka berpikir totalitas itu, Levinas menganjurkan ketakterhinggan (infinity). Dengan ketakterhinggaan dimaksud adalah bahwa orang lain harus diakui dan diterima apa adanya, karena ia mutlak. Ia harus diakui dan diterima dalam keberlainannya itu. Sebab orang lain itu tak terhingga (Infinity). Ia adalah orang lain, yang lain dari aku. Ia berada di luar segala kekuasaanku. Aku tidak dapat mendekatinya dengan caraku. Ia muncul sebagai wajah, sebagai orang lain. Dan kemunculan wajah itu menjadi suatu himbauan agar saya mengakui dan menerima, serta bertanggung jawab atasnya. Orang lain itu “telanjang” dan “luhur”. Telanjang, karena ia adalah ia, tanpa sesuatu apa pun yang dapat menjadi pengantara, atau tameng, atau alat penawar. Luhur, karena tidak dapat diabaikan, dikesampingkan, atau dianggap sepi apalagi diobyekkan. Pada saat itu, ia adalah mutlak, tak terhingga. Kemutlakannya memaksa saya menjawab; ini lah aku.
Cara berpikir Levinas yang mengajak setiap orang untuk merubah cara pandangnya, yakni mampu melihat orang lain dalam kedirian dan keberlainannya itu, serta darinya dibangun suatu hubungan manusiawi yang penuh tanggung jawab, bebas dan setara, memiliki signifikansi yang terbuka untuk direlevansikan ke dalam banyak konteks sosial yang berlainan. Upaya menjadi “polisi dunia” oleh sang adikuasa dan penegakkan “kedaulatan” olah pihak yang merasa memiliki hak; semangat “budaya MacWorld” dan pengunjukkan identitas primordial; ketegangan antara identitas nasional dan primordial dalam konteks Indonesia:; tidak harus menjadi seteru,  bila pemikiran filosofis Levinas ini dipahami dan dimiliki oleh semua pihak. Itu berarti, yang hendak disadari ialah bahwa setiap orang memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu adalah kebebasan yang bertanggung jawab: kebebasan itu memiliki batasannya dalam perjumpaan dengan sesama, yakni menghargai kebebasan orang lain itu juga.
Secara khusus dalam konteks bangsa Indonesia yang majemuk dalam berbagai hal, terutama dalam hal agama, pemikiran Levinas menjadi sangat signifikan (Bab IV). Ketegangan antara identitas primordial dan nasionalnya, khususnya dalam keagamaan dan kebangsaannya tidak harus terus berseteru. Pluralitas keagamaan mestinya dihayati sebagai anugerah Tuhan. Para pendiri bangsa menyadari realitas itu, sehingga menciptakan sebuah konsensus bersama yang menjamin kemajemukan tersebut: Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, gereja yang memiliki panggilan mewujudkan kerajaan Allah, sebaiknya merubah paradigma berpikirnya (sebagai ajakan sekaligus) terhadap agama-agama lain sehingga dapat tercipta suatu relasi yang konstruktif, dan darinya dapat bersama-sama membangun bangsa ini sesuai yang dikehendaki dari kemerdekaannya. Gereja dalam hal ini, bersama-sama agama-agama lain harus mengembangkan suatu sikap transformatif: menyadari keterbatasannya dalam menghadap Yang Ilahi, dan mau berdialog untuk memperkaya diri – menciptakan suatu sikap teologis, dan darinya dapat sama-sama menggumuli persoalan bangsa – menangani masalah kemanusiaan.  Kerajaan Allah yang meliputi kasih, keadilan, kebenaran, budaya nir-kekerasan, tanpa diskrimiasi, kesetaraan, kemerdekaan, dan lain-lainnya yang merupakan hakekat injil harus dibudayakan sebagai perwujudan kasih Tuhan dalam konteks Indonesia. Ketika gereja (bersama agama lain tentunya) melakukan hal itu, ia telah menjawab panggilannya itu. Dengan demikian, dalam bahasa Levinas, gereja sudah menjawab: inilah aku, utuslah aku!

Eksistensi Candi Borobudur Sebagai Kekayaan Religi dan Budaya di Tengah-tengah Penilaian Dunia dan Tantangan Zaman


1. Pendahuluan
            Pemilihan dan penetapan tujuh keajaiban dunia yang baru (new seven wonders) pada tahun 2007 telah mengundang banyak reaksi. UNESCO sebagai badan kebudayaan PBB yang berhak menetapkan situs-situs warisan dunia menolak untuk mendukung kegiatan ini. UNESCO sendiri telah menetapkan keajaiban dunia masa lalu meliputi Taman Gantung Babilonia, Patung Zeus di Olympia, Kuil Artemis di Ephesus, Makam Halicarnassus, Colossus dari Rhodes, Mercusuar Pharos Iskandariah, dan Piramida Giza di Mesir.
            Bernard Weber, seorang berkebangsaan Swiss mengusung proyek pencarian tujuh keajaiban dunia yang baru. Dari 77 kandidat yang dinominasikan, 21 situs ditetapkan menjadi finalis dan dipilih melalui polling sms. Alasan mendasar bagi Weber melakukan proyek ini adalah untuk menyatukan dunia dan simbol kebanggaan bersama terhadap warisan budaya dunia. Meskipun UNESCO menolak memberikan dukungan terhadap kegiatan ini, tetapi banyak warga dunia memberi responnya terhadap proyek Weber tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya 100 juta orang yang telah memberikan dukungan baik melalui media internet maupun komunikasi telepon. Hasil polling menetapkan Tembok Besar China, Colosseum di Roma, Taj Mahal di India, Reruntuhan Pink Petra di Jordania, Patung Kristus Sang Penebus di Rio de Janeiro, Reruntuhan Machu Picchu Inka di Peru, dan Kota Kuno Bangsa Maya “Chichen Itza” di Meksiko.
            Ikon tujuh keajaiban dunia yang diumumkan pada 7 Juli 2007 itu tidak hanya menampilkan nuansa kekhasan estetika budaya yang berbeda, namun juga mempertegas peradaban manusia yang tinggi. Namun di pihak lain, negara-negara yang memiliki situs budaya ‘ajaib’ tetapi tidak diikutsertakan dalam pemilihan ini, cenderung bersikap menolak dan tidak menerima hasilnya. Sebab, bagi mereka kriteria penilaian terhadap ‘keajaiban’ situs tidak hanya dapat diukur dengan menggunakan polling sms tetapi harus dinilai keseluruhan aspek historis, estetika, arsitektur dan budayanya.
Mengamati persoalan tersebut, lalu ketika melalui kuliah filsafat Timur, di mana pengampunya dengan kekayaan dan kedalaman pengetahuannya atas keragaman religi dan budaya Timur dan menyajikannya, dan secara khusus melalui tugas ini, saya tertarik untuk mengenali dan mempelajari religi dan kebudayaan kita yang memiliki keunikan nilai-nilai juga. Maka dalam tulisan ini saya ingin memperkenalkan candi Borobudur sebagai salah satu kekayaan budaya dan religi bangsa Indonesia. Hal ini bertujuan agar setiap orang dapat memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang budaya (khususnya Borobudur) dan menumbuhkembangkan rasa kecintaan terhadapnya.

2. Mengenal Candi Borobudur
            Secara etimologis, istilah Borobudur mencakup beberapa kata: pertama, borobudur berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Kedua, ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Ketiga, istilah ini berasal dari dua kata bara yang berasal dari kata ‘vihara’, sementara ada penjelasan lain pula bahwa kata bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara  dan beduhur, artinya ialah tinggi. Sehingga, bara beduhur dimaksudkan sebagai sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.           
            Candi Borobudur adalah sebuah nama candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi ini adalah ± 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi Borobudur dibangun dengan menggunakan ± 55.000 m³ batu dan memiliki 1460 relief dan 504 stupa Buddha di kompleksnya. Tinggi bangunan ini sampai ke puncak adalah 42 m, dengan lebar dasar 123 m. Tegak dan kokoh menjulang ke angkasa dan merupakan bagian sejarah yang telah berumur 12 abad atau telah didirikan sekitar tahun 800-an Masehi oleh para penganut agama Buddha Mahayana, pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
            Arsitektur candi Borobudur terdiri dari tiga bagian utama yaitu kaki, badan dan kepala candi, sehingga dikatakan berbentuk punden berundak dengan karakteristik tiap bagian tersebut memiliki enam tingkat berbentuk bujur sangkar (kaki), tiga tingkat berbentuk bundar melingkar (badan), dan sebuah stupa Buddha sebagai puncaknya (kepala) yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mazhab Buddha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Buddha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
            Adapun penjelasan yang dapat diuraikan tentang tiga bagian utama candi Borobudur, yaitu sebagai berikut:

Ø  Bagian dasar disebut Kamadhatu
Kamadhatu merupakan gambaran tentang dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah” atau melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi.
Ø  Empat tingkat di atas kamadhatu yaitu Rupadhatu
Lantainya berbentuk persegi dan patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas selasar. Bagian ini adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk dan  melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas.
Ø  Bagian badan atau tiga tingkat di atas kaki disebut Arupadhatu
Patung Buddha pada tingkat ini diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang seperti dalam kurungan dan denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, alam yang tidak berupa, tidak berbentuk, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Ø  Bagian paling atas disebut Arupa
Stupa pada bagian ini digambarkan polos tanpa lubang-lubang yang melambangkan nirwana, tempat Buddha bersemayam.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem. Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuno atau daksina yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ialah timur. Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Buddha. Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
a. Karmawibhangga
Secara keseluruhan, relief ini menggambarkan kehidupan manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir. Ada hukuman yang akan diperoleh manusia terhadap perbuatan tercelanya dan ada pula perbuatan baik dan pahala baginya. Oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
b. Lalitawistara
Ada 120 pigura pada relief ini yang menggambarkan riwayat Sang Buddha (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras.
c. Jataka dan Awadana
Pada relief candi Borobudur, jataka dan awadana diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Bahwa jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Sedangkan awadana hampir mirip dengan jataka namun menekankan pada orang lain.
d. Gandawyuha
Relief ini menghiasi dinding lorong ke-dua tentang cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.

3. Eksistensi candi borobudur di tengah arus modernisasi dan globalisasi
            Perkembangan dunia tak dapat dihindarkan, tak dapat pula ditolak. Perubahan menjadi suatu urgensi kebutuhan yang mengisi ruang-ruang publik. Setiap fase perubahan menawarkan beranekaragam materi yang memperhadapkan wujudnya pada individu manusia untuk menetapkan pilihan. Dinamis dan semakin bergerak cepat meninggalkan argumentasi diri tentang hakekat dan makna perubahan itu sendiri. Modernisasi lambat laun mengikis peradaban tradisional yang berkontribusi besar dalam mempertahankan identitas kelompok manusia. Di sisi lain, tidak ada lagi hasrat untuk mengetahui dan mempelajari historisitas situs budaya tertentu, karena kesibukan pikir terlalu digerus oleh teknologi. Dalam kondisi demikian, maka perlu dipertanyakan : masih layakkah keberadaan situs-situs budaya seperti candi Borobudur (dan juga situs budaya lainnya yang masih eksist) dilestarikan? Apa makna eksistensi candi borobudur dalam bingkai ruang peradaban modern bangsa Indonesia ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, ‘memaksa’ kita untuk melakukan refleksi terhadapnya. Fakta penjualan arca ke tangan pihak asing oleh seorang pengusaha di Solo pada tahun lalu, menunjukkan betapa buruknya pengawasan dan pemeliharaan aparat yang berwewenang terhadap situs budaya yang semestinya dilestarikan. Rasa memiliki, kebanggaan, dan kecintaan terhadap budaya sendiri memudar.
            Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO pun pernah mengalami hal yang serupa. Ketika tahun 1896, pemerintah Hindia Belanda, melalui Residen Kedu, mengambil delapan gerobak penuh patung dan bagian Borobudur yang indah untuk dihadiahkan kepada Raja Siam. Bahwa Raja Chulalangkon ketika mengunjungi Borobudur sangat tertarik akan patung-patung Buddha dari candi tersebut. Maka diangkutlah hadiah dari Belanda itu ke negaranya. Sampai sekarang benda berharga dari candi Borobudur itu tersimpan di Museum Bangkok, Thailand. Nilai estetika candi Borobudur ibarat memiliki kesaktian yang mampu menyihir siapa pun penikmatnya. Tindakan tersebut memperlihatkan terjadi absurditas makna atas candi Borobudur yang hakekatnya mengandung fakta historis perkembangan agama Buddha di Indonesia, dan kekayaan budaya bangsa. Di sisi lain, ketidakakuan publik internasional terhadap Borobudur dalam pemilihan tujuh keajaiban dunia yang baru (new seven wonders) versi Bernard Weber, memperlihatkan kurang dikenalnya candi Borobudur.
            Maka kiranya beberapa argumentasi perlu dikemukakan dalam kaitan dengan memudarnya penghargaan terhadap candi Borobudur di mata dunia sebagaimana ditunjukan. Pertama, entah UNESCO, apalagi Bernard Weber (yang barangkali berlatar belakang bisnis) tak berhak menetapkan suatu kebudayaan sebagai yang lebih unggul daripada kebudayaan lain. Sebab setiap kebudayaan memiliki nilai keunikannya sendiri. Tidak ada kebenaran universal yang berlaku dalam penilaian kebudayaan. Penilaian selalu relatif dan subjektif, sebab pengenalan seseorang terhadap keseluruhan budaya juga terbatas. Belum lagi metode penilain selalu subjektif. Kedua, kalau pun dilakukan, metode macam apa yang digunakan harus dipikirkan secara baik agar mendekati objektifitas. Ketiga, sebagai bangsa Indonesia, sudah seharusnya kita bertanggungjawab terhadap situs budaya yang menjadi warisan bangsa, maka Borobudur harus kita hargai, lestarikan, pelihara, rawat, dan promosikan.
Sebab Borobudur tidak hanya menjadi sebuah simbol budaya yang kokoh berdiri di atas bukit di kota Magelang, yang memiliki daya mistis yang mampu menggoda pengunjung untuk menyusuri lorong-lorong atau menaiki tangga hingga dapat berpose pada patung-patung Buddha atau stupa utamanya. Ia lebih dari sekedar kata yang melekat dalam pikiran setiap orang dan menunjuk pada sebuah candi. Borobudur justeru telah menjadi identitas khusus, unik, dan khas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya dan religius.
            Rentangan historis candi Borobudur, tidak hanya menguraikan sebuah situs budaya yang menjadi identitas bangsa Indonesia, tetapi juga eksistensi agama Buddha di Indonesia. Kondisi ini menempatkan Borobudur berkontribusi besar sebagai salah satu unsur konstruksi peradaban agama dan manusia. Agama Buddha dipelajari pula melalui relief-relief yang dipahat oleh tangan-tangan manusia di masa lalu, dan pada kekinian justeru menjadi sumber pembelajaran (source of learning) bagi umat Buddha di dunia dan kita semua. Ajaran agama Buddha Mahayana yang terekam dalam bentuk pahatan dimulai dari tingkat paling dasar hingga utama itu tidak hanya menjadi sebuah bangunan, tetapi ada kandungan falsafah kehidupan manusia juga yang terurai pada setiap tingkat demi tingkat yang ditapaki, maka perlu dipelajari dan dihayati oleh setiap insan manusia.
Borobudur menunjukkan bagaimana manusia hidup dalam beraneka ragam dunia yang penuh dengan rupa hawa nafsu dan kejahatan; atau pada sisi lain ada pula dunia yang penuh kebaikan yang akan mendatangkan pahala. Tujuan daripada kehidupan itu sendiri sebagaimana digambarkan pada bentuk materi candi yaitu menuju kepada kesempurnaan. Tingkatan demi tingkatan dari dasar hingga puncak membentuk pemahaman yang lebih komprehensif bagi insan manusia dalam menjalani kehidupan. Nafsu dunia dan segala kejahatannya, hanya akan menyesatkan. Kebaikan menguntungkan karena pahala akan diperoleh. Namun, kemurnian hidup dengan menanggalkan segala bentuk kehidupan yang fana, akan mengarahkan jiwa si pemilik kehidupan pada Nirwana. Itulah yang kiranya perlu dipahami, dihayati dan dihidupi.

4. Penutup
Arsitektur Borobudur memperlihatkan keindahan dan keunikan suatu situs budaya bangsa Indonesia. Ia merupakan kekayaan budaya dan religi kita. Falsafah yang terkandung di dalamnya dapat menjadi bahan refleksi atau penghayatan tidak hanya bagi kaum Budhis tetapi juga setiap insan manusia yang mau memahami diri dan hidupnya di dunia. Di lain sisi, situs budaya ini dapat menjadi simbol pemersatu bangsa di tengah-tengah polarisasi hidup yang makin individual dan tantangan global yang menggerus nilai-nilai identitas masyarakat. Maka terlepas dari penilaian pihak luar, sebagai bangsa kita semestinya senantiasa memiliki rasa kecintaan dan kebanggaan atas segala kekayaan religi dan budaya kita (seperti Borobudur), sehingga mau belajar mengenal, memahami, melestarikan, menghayati, dan menghidupinya agar tidak terjadi kemiskinan pengetahuan dan sikap hidup sebagai bangsa yang berbudaya, beradab, dan religius.


DAFTAR PUSTAKA
Borobudur. Downloaded version http://www.wikipedia.com ... 30/03/2009.
Dewi, T. 2007. Tujuh keajaiban dunia baru. Downloaded version http://www.tempointeraktif.com ... 11/04/2009.
Hadiwijono, H. 2001. Agama Hindu & Buddha. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.
Silhouette. 2003. Borobudur. Downloaded version http://www.navigasi.net ... 30/03/2009.
Sutrisno,Mudji, Zen Budhis: Ketimuran&Paradoks Spirituaitas, Jakarta: Penerbit Obor, 2004
Utomo, Y.W. 2003. Borobudur, candi Buddha terbesar di abad ke-9. Downloaded version http://www.yogyes.com ... 30/03/2009.
Tujuh Keajaiban Dunia "baru" Diumumkan di Tengah Kontroversi.  Downloaded version http://www.antara.co.id/arc/2007 ... 11/04/2009.

TIGA MODEL KEKUASAAN POLITIK


       1. Pendahuluan
Study politik tidak hanya mencakup pengelolahan masalah publik, struktur dan organisasi pemerintah, serta kampanye pemilu secara periodik yang penuh semangat. Ia mencakup aspirasi, tujuan, keyakinan, dan nilai-nilai manusia. Ia berkaitan dengan teori dan praktek. Ketrampilan filosofis dan teknis. Telaah dan analisis historis atas filsafat politik memperlihatkan bahwa tidak hanya ada satu macam politik. Setiap filsuf memperkenalkan modelnya. Namun demikian, secara umum pemikiran politik dapat dikategorikan ke dalam tiga macam. Berikut ini akan diulas pemikiran politik Machiavelli, filsafat politik Kant, dan filsafat politik Montesquieu-Arendt yang mewakili 3 kategori besar model kekuasaan politik. Ketiga posisi ini memperlihatkan perbedaan-perbedaan kontras yang signifikan.

2.  Ulasan
Tipe politik real diperkenalkan oleh Nicolo Machiavelli. Pengalaman Machiavelli dalam politik yang korup[i] dan diliputi peperangan, membawanya pada gambaran tentang watak manusia yang suram dan rendah. Tidak seperti pandangan Plato dan Aristoteles pada zaman kuno yang memandang manusia secara positif, atau gambaran abad pertengahan yang melihat manusia sebagai citra Allah (imago Dei), Machiavelli memahami manusia murni naturalistik atau psikologis, lebih khusus dari sisi negatifnya. Maka ia memandang manusia serba negatif.  Ia mengatakan: “tentang manusia-manusia orang pada umumnya dapat berkata bahwa mereka itu tak tahu terima kasih, plin-plan, sesat, pengecut bila menghadapi bahaya dan mau untungnya sendiri”(FBH). Machiavelli menganggap semua manusia  jahat dan bahwa mereka akan selalu condong pada kejahatan yang ada dalam dirinya bila ada kesempatan. Menurut Machiavelli, manusia adalah binatang yang terutama didorong oleh kepentingan diri sendiri, ketamakan pribadi, ketakutan, kesombongan, dan nafsu akan kekuasaan.[ii]
Di sisi lain, manusia adalah objek kekuasaan. Machiavelli mengatakan: “selama engkau menyenangkan mereka, mereka pasrah kepadamu dan menyerahkan kepadamu... harta dan nyawa, hidup dan anak-anak mereka, bila bahaya itu jauh; namun kalau bahaya itu mendekat, mereka akan marah”(FBH). Jadi manusia machiavellian adalah para oportunitis yang licik, munafik, tak dapat dipercaya, tetapi juga manusia rapuh yang rela dikuasai asalkan kebutuhan-kebutuhan terpenuhi.
Kalau demikian ambiguitasnya karakter manusia, bagaimana menata kehidupan mereka dalam suatu negara? Dengan kata lain, kekuasaan politik macam apa yang tepat atas manusia-manusia egois itu? Machiavelli menjawab bahwa “seorang penguasa harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas. Penguasa harus bisa memakai kedua kodrat itu. Yang satu tanpa yang lain tak dapat ada”(FBH). Machiavelli ingin mengatakan bahwa ada dua cara, yakni melalui hukum dan kekerasan. Keduanya harus dipakai. Namun hukum sebagai cara manusiawi seringkali tidak memadai, maka kekerasan sebagai cara hewani mutlak diperlukan sang penguasa dalam menata negara.
Dalam menggunakan karakter binatangnya, “penguasa harus mampu bermain sebagai binatang buas, di mana dia harus meniru rubah dan singa; karena singa tak lepas dari jerat, dan rubah tak bisa lolos dari serigala. Jadi, dia harus menjadi rubah untuk mengenali jerat, dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala-serigala”(FBH). Artinya dalam menjalankan kekuasaan politik, sang penguasa harus cerdik, licik, cerdas, agar mampu mengenali setiap jebakan politik lawan-lawannya, supaya tidak terjerat, dan sekaligus harus pemberani dan kejam agar ditakuti oleh musuh-musuhnya. Singa tidak pernah bisa bertindak seperti rubah, tetapi penguasa sebagai manusia, persisnya karena ia adalah makhluk rasional, bisa menggunakan karakter dan kualitas binatang (rubah dan singa) yang berbeda-beda ketika situasi menuntut demikian.
Jadi kekuasaan politik Machiavelian adalah tindakan penuh manipulasi, kecerdikan, taktik, kekerasan, dan kekejaman dalam mendisiplinkan manusia-manusia ini. Moralitas jauh dari kekuasaan politik itu, karena kekuasaan sama dengan hukum, bahkan seakan-akan kekuasaan mengatasi hukum. Kekuasaan politik machiavelian bersifat monarki absolut, di mana penguasa memiliki otoritas mutlak dalam menjalankan kekuasaan demi survival bersama, termasuk dengan kekerasan/kekejaman. Kekuasaan politik Machiavelli bersifat diktator/otoriter.
Berbeda dengan Machiavelli, model politik Kant agak lunak. Bertolak dari pengandaian antropologi: Kant memang mengakui kodrat jelek manusia, tetapi diakui juga sisi positifnya. Kant melihat manusia sebagai makhluk sosial yang asosial (the unsocial sociability). Bagi Kant, ada antagonisme dalam diri manusia; di satu sisi manusia bersifat egois, liar, kasar, mengejar kepentingan dirinya, serakah, mau mendominasi/menguasai pihak lain, gila hormat, namun di sisi lain ia juga memiliki kehendak baik dan membutuhkan orang lain. Manusia merupakan diri individual, yang selalu ingin memiliki keinginan untuk hidup sendiri dan memiliki posisi lebih baik dari orang lain, dan di sisi lain ia sebagai makhluk sosial yang memiliki kemampuan sosialisasi dan hanya bisa mengembangkan potensinya dalam masyarakat. Ia ingin mendominasi orang lain, tetapi serentak tak mau didominasi. Ia tak betah dengan orang lain, tetapi sekaligus tak mampu memisahkan diri. Ia mencari posisi dalam masyarakat, tetapi serentak menginginkan independensi dan mengisolasi diri.[iii]
Menurut Kant, basis terdalam dari ketaksosialan manusia ini adalah hasrat egoisme dalam dirinya untuk mengatur segala sesuatu menurut kehendaknya. Maka konflik, pertentangan, antagonisme, adalah keniscayaan dari hidup manusia. Tetapi hal ini tak boleh ditiadakan, sebaliknya harus disyukuri. Karena justeru konflik/pertentangan itulah yang membangkitkan kekuatan-kekuatan manusia dan mendorongnya untuk mengatasi kemalasannya. Kant mengatakan bahwa dengan cara “pertentangan itulah semua bakat manusia lama-kelamaan dikembangkan, selera juga terbentuk dan bahkan lewat pencerahan terus-menerus dimulailah cara berpikir yang mengubah” (FBH). Mengapa? Karena melalui kontak dan konflik/pertentangan/persaingan dengan orang lain manusia ditantang untuk mengembangkan bakatnya, merealisasikan potensi/kemampuannya, sehingga ia mampu mengukir sejarah sebagai suatu perkembangan kemajuan. Itulah rahasia tersembunyi[iv] dari adanya kemajuan. Kant mengatakan bahwa sejarah akan lain jika manusia hidup penuh damai dan saling mencintai. Segala potensi yang ada pada manusia akan tetap dalam keadaan non-aktif.
Sifat sosial yang asosial dari individu manusia inilah menjadikan individu berbudaya. Budaya tumbuh dalam ketegangan-ketegangan antara kontak dan konflik. Bahkan secara sinis dapat dikatakan bahwa budaya lahir dari kekerasan, kemanusiaan lahir dari bergelimpangannya mayat-mayat korban perbantaian, perdamaian muncul setelah peperangan. Segala bakat terpendam manusia berkembang lewat proses kontak dan konflik ini. Kant mengatakan: “manusia menghendaki kerukunan, namun alam tahu lebih baik untuk spesiesnya: dia menghendaki pertentangan” (FBH).
Namun, selain sebagai makhluk sosial yang asosial, manusia adalah makhluk berakal budi. Rasio manusia memungkinkan terciptanya suatu tatanan rasional yang bisa mengendalikan semangat kompetisi dan egoisme  sehingga tidak menjerumuskan manusia ke dalam perilaku biadab. Kant mengatakan: “masalah pendirian negara – betapa kerasnya pun perkataan ini – dapat diselesaikan oleh sebuah bangsa setan-setan (jika mereka hanya memiliki akal)”. Akal menjadi sangat sentral dalam terciptanya masyarakat sipil di mana individu-individu rela mengabaikan kepentingan egois untuk tercapai suatu masyarakat sipil yang akan melindungi setiap individu. Jadi kendati bangsa setan-setan tidak bermoral, beragama, tetapi karena akalnya, mereka bersepakat untuk hidup dalam suatu masyarakat sipil. Rasio berfungsi strategis dalam mewujudkan tatanan itu.
Pertanyaannya, bagaimana menjamin tatanan rasional bangsa setan-setan itu? Atau kekuasaan macam apa yang kiranya menjaga mereka di tengah-tengah persaingan bebas itu? Kant berpendapat bahwa agar tatanan rasional itu menjamin para individu dari kondisi yang saling mengancam satu sama lain maka diperlukan aturan-aturan/hukum. Kant mengatakan: “untuk mengorganisir sejumlah makhluk rasional yang bersama-sama menuntut hukum universal bagi kelangsungan hidup mereka, namun setiap individu secara diam-diam cenderung mengecualikan dirinya dari yang lain, haruslah konstitusi negara itu dirancang sedemikian rupa, sehingga – meskipun parawarga negara saling bertentangan satu sama lain dalam sikap-sikap pribadi mereka – pertentangan-pertentangan itu dapat dibatasi dengan cara sedemikian rupa sehingga perilaku publik warganegara itu akan sama seakan-akan mereka tidak mempunyai sikap-sikap jahat seperti itu”.
Di sinilah manusia menyadari pentingnya hukum. Jadi berbeda dengan Machiavelli, kebijakan politik atas manusia-manusia egois itu tak perlu dikekang, tetapi cukup diciptakan suatu supremasi hukum yang mengendalikan kebebasan mereka agar tidak mengganggu satu dengan yang lain. Antagonisme individu dibiarkan hidup, sebab persaingan itu dikontrol oleh hukum sehingga tidak akan mengarah pada chaos. Kebebasan dijamin oleh hukum itu. Dan justeru dengan itu, mereka akan sadar akan pentingnya kebutuhan bersama: perdamian. Bahkan penguasa yang menjalankan politik juga taat pada hukum. Hukum mengatasi kekuasaan. Pada kekuasaan politik Kant, kita menemukan model demokrasi liberal.
Berbeda dengan model kekuasaan politik Machiavelli yang diktatoris, dan Kant yang liberal, posisi ketiga berikut bertolak dari pengandaian antropologis yang cukup positif. Model kekuasaan politik ini berangkat dari pengandaian antropologi republikan Montesquieu. Montesquieu mengatakan: “rasa takut, kiranya menyebabkan manusia-manusia saling menjauh satu sama lain. Akan tetapi mereka kiranya segera bergerak mendekat satu sama lain, bila mereka menerka dari gerak gerik dan air muka orang lain bahwa rasa takut itu timbal balik. Lagi pula pendekatan itu akan cepat menimbulkan rasa senang yang dirasakan oleh setiap makhluk saat mendekati makhluk lain dari spesies yang sama” (FBH). Kodrat manusia Montesquieu bukan makhluk egois seperti Machiavelli, dan  Kant. Ia adalah makhluk yang lemah, takut, dan tak berdaya. Ia tidak terlalu baik, tapi juga tidak begitu jahat. Tetapi justeru ketakberdayaannya itu menjadi kondisi untuk berkorporasi, berkomunikasi, dan membangun hubungan dengan pihak lain demi tujuan bersama. 
Tepat pada kemampuan terbuka dengan pihak lain, kesalingan berkomunikasi, dan membangun kehidupan bersama yang merupakan ciri-ciri republik inilah Arendt memahami politik. Jadi suatu komunitas politis adalah sebuah res publikia, yaitu suatu kehidupan bersama secara politis dengan melangsungkan proses formasi kehendak bersama dan opini publik secara demokratis. Maka Arendt memahami kekuasaan politik berbeda dengan yang lazimnya dikaitkan dengan kekerasan (sebagai instrumen kekuasaan), atau kekuasaan manusia atas manusia yang lain menurut kehendak yang berkuasa. Arendt mengatakan: “kekuasaan selalu merupakan potensi kekuasaan, dan bukannya sesuatu yang tetap, terukur dan pasti seperti daya atau pun kekuatan.” Maksudnya, berbeda dengan daya (force) yang sering dikaitkan dengan kekuatan alam fisik, atau kekuatan (strength) yang merupakan kualitas individual setiap manusia (inheren pada tiap individu), bagi Arendt kekuasaan (power) bukanlah sesuatu yang kodrati dalam diri manusia, melainkan artifisial. Arendt mengatakan: “kekuasaan sesungguhnya tidak dimiliki oleh seorang pun. Kekuasaan terjadi diantara manusia-manusia, jika mereka bertindak bersama-sama, dan dia lenyap, begitu manusia-manusia itu bubar”. Jadi Arendt memahami bahwa kekuasaan itu hanya ada sejauh individu-individu mau berkumpul dan berpartisipasi bersama-sama dalam suatu res publika, atau polis. Sehingga kekuasaan bukan lagi sebagai alat untuk memaksakan kehendak seseorang (penguasa) bagi yang lain (rakyat), tetapi suatu bentuk kehendak bersama-sama dalam sebuah relasi yang harmonis dan saling memahami. Lebih jauh, hubungan antar individu tersebut berada pada tingkat yang sama. Oleh karena itu, ketika kelompok itu pecah, maka dengan sendirinya kekuasaan itu hancur.
Dengan demikian, kekuasaan politik bagi Arendt adalah kekuasaan seluruh wagra negara yang tergabung dalam suatu republik (kedaulatan rakyat). Dalam republikanisme Arendt ini, setiap individu yang berkelompok di dalamnya memiliki kekuasaan politik yang sama dengan individu lainnya, maka ia harus berpartisipasti secara politis dalam negara itu. Artinya melalui keaktifanya, setiap warga bersedia menempatkan keutamaan umum (kesejahteraan, keadilan) di atas kepentingan pribadi, terlibat dalam dalam komunikasi/diskursus rasional di dalam res publika atas persoalan-persoalan polis. Arendt mengatakan: “kekuasaan tidak hanya untuk bertindak/mengerjakan sesuatu, tetapi juga untuk bergabung bersama-sama dengan orang lain dan bertindak dengan mereka dalam persesuaian paham”. Jadi berbeda dengan kekuasaan absolutisme Machiavelli, yang memberi hak lebih kepada penguasa dalam mendisiplinkan rakyatnya, juga berbeda kekuasaan liberalisme Kant (Hobbes dan Locke) yang mengabstaksikan individu-individu terpisah dari komunitas politis dan berhadapan dengan kekuasaan politis yang berupa hukum itu, republikanisme Arendt adalah suatu demokrasi sosial yang meletakan kekuasaan di tangan seluruh wagranegara yang berkelompok – kekuasaan adalah kekuasaan (kedaulatan) rakyat.

3. Catatan Penutup
Cita-cita Machiavelli membangun model kekuasaan politik yang kokoh dan survive patut didukung. Tujuan umum yang menjadi maksud dari negara Machiavelli juga harus disetujui. Namun pandangannya tentang manusia yang hanya dari satu sisi – negatifnya, merupakan bukti kesempitan berpikir. Pemisahan moralitas dari politik juga sulit diterima. Tetapi yang terutama 2 kecacatan berikut perlu diperhatikan: 1) bahwa kekuasaan yang hanya berdasarkan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya rapu. 2) Machiavelli tidak melihat bahwa stabilitas kekuasaan tergantung dari apakah kekuasaan dipandang sebagai sah atau tidak oleh masyarakat. Pendekatan ini sempit.[v]
            Model kedua memperlihatkan kemajuan. Hak-hak liberal individu terjamin dalam model politik kedua ini. Kebebasan negatif tercipta di sini. Penguasa memiliki kewajiban untuk menciptakan kondisi etis bagi masyarakat. Demokrasi berkembang. Namun dalam demokrasi liberal ini, individu bisa tercerabut dari komunitas politiknya bilamana individu tidak peduli dengan komunitas dan selalu berdiri berhadapan dengan negara dan hanya menuntut perlindungan, dan tidak berpartisipasi politik di dalamnya sebagai anggota komunitas sipil.
            Sedangkan, posisi ketiga menunjukkan suatu bentuk ideal dari kekuasaan politik. Kekuasaan politik republikanistik ini sangat khas dalam mana ia mendorong demokrasi: pembentukan kehendak umum dalam suatu komunikasi yang diarahkan pada pencapaian tujuan menuju kesejahteraan umum. Namun kelemahan konsep kekuasaan ini terletak pada kenyataan bahwa Arendt tetap terikat oleh konstelasi historis dan pengertian Aristoteles. Arendt memisahkan pengertian Yunani kuno praxis (bertindak bersama dalam kerangka polis) dari Poiesis (menghasilkan, berproduksi) dan theoria (memandang yang menghasilkan pengetahuan). Sayangnya Arendt memasukkan kekuasaan politis hanya dalam kategori praxis. Menurut Habermas, pemisahan ini membuatnya tidak mampu memhitungkan dimensi-dimensi politis yang strategis, sistemis, dan struktural dalam konsep kekuasaannya. Hal ini menghilangkan pelan-pelan segala elemen strategis sebagai “kekerasan” dari politik; mengeluarkan politik dari hubungannya dengan sistem ekonomis dan masyarakat, dimana politik diikat melalui sistem administratif; dan tidak mampu menangkap gejala-gejala kekerasan struktural.



[i] Yang dimaksud Machiavelli dengan Korup di sini ialah semua tindakan yang menempatkan kepentingan tertentu di atas kepentingan umum. Jadi bukan hanya “penyalahgunaan kekuasaan politik untuk mencapai keuntungan prinadi atau sebaliknya,” tetapi juga seperti tindakan mengangkat senjata untuk melawan Negara, menipu demi kemasyuran pribadi. Lihat Robertus Robert, Republikanisme dan keindonesiaan, Tangerang: Margin Kiri, 2007. hlm 29
[ii] Band. Hendry J Schmandt, Filsafat Politik, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002, hlm 254
[iii] Lihat Howard Williams, Filsafat Politik Kant, Surabaya: J-Press, 2003, hlm 12
[iv] Tersembunyi karena sifatnya abstrak, halus, tak terlihat pada diri manusia individual, melainkan dapat dibaca  dalam perilaku spesies manusia sepanjang sejarah. Misalnmya revolusi dan reformasi adalah alam yang secara diam-diam bekerja mewujudkan kebebasan.
[v] Frans Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 2001. hlm 9


Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik (Diktat), Jakarta: Driyarkara, 2001
………….., Memahami Negativitas, Jakarta: penerbit buku Kompas, 2005
………….., Watak Paradoksal Hak Asasi Manusia, dalam Majalah Basis, edisi Maret-April 2007
Machiavelli, Nicolo, Sang Penguasa, Jakarta: Gramedia, 1987
Magnis-Suseno, Frans,  Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 2001
........................., Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 2001
Montesquieu, The Spirit of Laws, Bandung: Nusamedia, 2007
Robert, Robertus Republikanisme dan keindonesiaan, Tangerang: Margin Kiri, 2007
Schmandt, J. Hendry, Filsafat Politik, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002
Williams, Howard, Filsafat Politik Kant, Surabaya: J-Press, 2003

Kamis, 17 Februari 2011

KEADILAN JOHN RAWLS DAN PANCASILA


KEADILAN JOHN RAWLS DAN PANCASILA
Suatu Upaya mengatasi Pluralitas Agama Demi Eksistensi (Persatuan) Bangsa

1. Permasalahan Bangsa
Semangat Fundamentalisme berupa bangkitnya identitas-identitas primordial berupa Agama, Suku dan kedaerahan, yang cenderung bertindak anarkis, belum lagi Bencana Alam, korupsi para elite politik yang merugikan rakyat, dan lain-lainnya; serta kehadiran Globalisasi dengan jargon utamanya Neo-Liberalisme adalah tantangan paling berat yang merongrong eksistensi dan keberlangsungan Bangsa Indonesia saat ini. Indonesia sedang digerogoti jati dirinya. Tantangan semacam ini, paling rawan merangsang primordialisme keagamaan karena nilai-nilai religiusitas dianggap yang paling sakral untuk diganggu, apalagi oleh budaya asing semacam globalisasi. Kelompok keagamaan yang paling ketat tidak dapat diajak berkompromi dalam kondisi ini. Penolakan total adalah sikap mereka.
Namun persoalannya toidak sebatas itu. Permasalahannya adalah kelompoik keagamaan yang paling fundamental ini  (seperti FPI, Salafi, dll) seringkali memaksakan nilai/kebenaran yang mereka miliki dalam kehidupan yang lebih luas, tepatnya dal;am bangsa Indonesia. Persoalan berlanjut karena tindakan anarkhis pun dilakukan asalkan nilai mereka diwujudkan. Bahayanya tidak hanya penganut agama lain yang dimusuhi, tetapi bahkan aliran yang berlainan dengan mereka dalam agama yang sama pun dianggap musuh. Dengan sikap itu, pluralitas keagamaan yang dipayuingi Pancasila dan UUD 1945 diabaikan – sebab mereka tidak toleran apalagi mau berkompromi dengan pihak yang berbeda dari mereka.
Bila pemaksaan nilai primordial (agama) yang mengatasi nilai nasional (Pancasila) semacam itu di biarkan mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara, apa konsekkuensi yang bakal terjadi? Di manakah prinsip keadilan yang disepakati dan dijanjikan dalam Pancasila ketika hendak menjadi satu bangsa – bangsa Indonesia? Dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan realita pluralitas, yang tetap dapat memperoleh legitimasi (jaminan) keadilan dalam filsafat politiknya Rohn Rawls – jadi sengaja dicari argumentasi filosofis-rasionalnya,  yang dalam konteks Indonesia, relevan pula dalam Pancasila, dan karena itu, prinsip keadilan yang menjamin pluralitas itu harus tetap dijaga dan dikembangkan demi eksistensi bangsa.
2. Realitas Pluralitas tetap dapat diatasi dengan Adil dalam teori John Rawls

Pada dasarnya, manusia dalam kenyataan kodrat dan personanya saja berbeda (pluralistik), entah berupa keinginan atau hasrat, pemikiran, gaya, daya tarik atau kesukaan, dan lain-lainnya. Dua orang kembar pun tak pernah memiliki keinginan atau pemikiran yang sama. Maka tentu juga dalam realitas manusiawi yang lebih luas pun atau di luar dirinya; entah berupa tradisi, kebudayaan, agama, nilai, moral, kepentingan, ideologi, dllnya akan beranekaragam pula. Dengan kondisi manusiawi yang wajar demikian, tak dapat disangkal bahwa ketegangan antar subyek yang satu dengan yang lain, bahkan antar kelompok subyek pun tak terelakkan.  Hal ini, terutama dalam hal kepentingan dan ideologi, adalajh lebih rumit lagi – bagaimana mungkin mengatasi kepentingan dan pikiran banyak orang secara adil.
John Rawls menawarkan suatu prisnsip keadilan yang menjamin pluralitas. Rawls menegaskan bahwa ada dua prinsip dasar keadilan;  pertama, setiap manusia harus mempunyai persamaan hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama dimiliki orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga  (a) diharapkan memberikan keuntungan pada setiap orang, (b) dan semua kedudukan  dan jabatan terbuka untuk semua orang ( yang lalu harus dijabarkan dalam sebuah undang-undang dasar, sistem hukum, dan seterusnya)[1] Jadi, gagasan dasar Rawls adalah: segenap masyrakat tertata dengan baik apabila tatananya dapat diterima oleh semua sebagai adil; oleh orang dari latar belakang agama, budaya, dan keyakinan politik apapun.
Menyadari dilema, terutama dalam komunitas-komunitas yang memiliki jurang perbedaan yang dalam, Rawls mengandaikan bahwa kendati demikian, tentu saja masih cukup “kesamaan” sehingga dapat dimukinkan tercapainya sebuah overlapping Consensus tentang tatanan dasar kehidupan bersama. Artinya tentu saja mereka masing-masing menuntut agar dapat hidup menurut tradisi dan cita-cita masing-masing, tetapi karena dalam sistem nilai mereka terdapat masing-masing toleransi (yang baik) dan fairness pun dijungjung tinggi, maka mereka menyetujui menetapkan  suatu tatanan hidup bersama yang dapat diterima oleh semua.  
Untuk itu Rawls membedakan antara dua pluralisme; “reasonable pluralism” dan “unreasonable pluralism”.[2] Reasonable bukan dalam arti “rasional”, melainkan dari kata “to resaon about”, sebagai bersedia beragumentasi dan berkrompomi. Tentu saja, tentang keyakinan moral inti dan keagamaan sebuah komunitas tidak bersedia untuk tawar-menawar. Akan tetapi, tentang kerangka hidup bersama dengan komunitas lain mereka bersedia “to reason”, untuk mempertimbangkan pelbagai sudut, jadi untuk tidak memutlakkan cita-cita mereka sendiri. Artinya, mereka mampu untuk berkompromi.
Lain halnya kelompok-kelompok dengan keyakinan-keyakinan yang unreasonable, entah karena mereka berdasarkan sebuah ideologi atau paham keagamaan yang keras, kelompok-kelompok itu mempunyai pandangan yang eksklusif, dan karena itu tidak dapat mengadakan pertimbangan bersama atau berkrompomi, dan tidak menerima pluralitas.

3. Keadilan Dalam Pancasila – Menjamin berlangsungnya kehidupan yang Plural.
            Teori Rawls bersesuaian dengan situasi yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Berhadapan dengan tugas untuk melatakan tatanan dasar kehidupan kenegaraan bersama yang didambakan, yaitu dalam diskusi BPUPKI bulan mei sampai juli 1945. Waktu itu ada dua  pandangan berhadapan satu sama lain: yang satu mau menjadikan agama mayoritas sebagai dasar negara, yang lain murni kebangsaan. Teryanta dua pandangan itu reasonable; mereka masing-masing bersedia merelakan sebagaian dari cita-cita mereka untuk mencapai cita-cita bersama, yakni penciptaan satu negara dari sabang sampai merauke dimana semua suku, ras, umat beragama dan komunitas budaya dapat hidup bersama dengan baik, dengan kewajiban dan hak-hak yang sama, tanpa harus melepaskan cita-cita dan keyakinan masing-masing. Dengan demikian seluruh pluralitas dinusantara itu dapat menerima negara yang mau didirikan itu. Overlapping consensus itu adalah pancasila. Sejak itu pancasila merupakan jaminan bahwa semua komunitas yang bersama–sama merupkan bangsa Indonesia termasuk minorits-minoritas yang paling kecilpun, dapat itu secara damai dan positif dalam satu negara Indonesia. Jadi dengan reasonable, Pancasila mencapai Fairness yang maksimum dalam menengahi pluralitas.
Dengan demikian, hasrat komunitas keagamaan yang semnpit dan keras, tak dapat dipertahankan untuk berlebihan aksi, apalagi mau mengendalikan kehidupan bangsa. Pluralitas agama adalah fakta bangsa Indonesia, sehingga tidak boleh ada kelompok agama yang menempatkan diri sebagai satu-satunya nilai.

4. Rekonstruksi Identitas Bangsa melalui Penghidupan Pancasila
Bangsa Indonesia yang menyadari realitas kemajemukannnya, sejak awal telah digumuli secara lebih saksama dan mendalam oleh father founders kita. Berbagai identitas primordial seperti kesukuan, etnis, golongan, budaya, agama dan lain sebagainya sangat diperhitungkan dan dibiarkan berjalan bersama suatu identitas nasional yaitu kebangsaan Indonesia. Sehingga dengan keIndonesiaan itu, kita bukan hanya memiliki identitas primordianl tertentu, tetapi kita sekali gus menjadi orang Indonesia bersamaan dengan keprimordialan tertentu. Bersama-sama dengan Identitas nasional dan primordial itu, kita menjadi Indonesia. Karena itu, keduanya perlu diseimbangkan, dan bukan mengabaikan salah satu dan hanya memperhatikan yang lain. 
Keseimbangan terhadap kedua identitas – demi menjadi Indonesia itu telah digumuli dan akhirnya menjadi sebuah konsensus politik yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Dengan kedua dokumen ini kita melangsungkan kehidupan sebagai Bangsa Indonesia. Titaley[3] mengatakan bahwa, nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD 1945 (dan tentunya Pancasila juga karena Pancasila merupakan bagian dari pembukaan UUD 1945) itu ialah kebebasan (kemerdekaan) dan kesetaraan kemanusiaan. Menurutnya, alinea pertama dan kedua menunjukkan kemerdekaan adalah nilai dasar bangsa ini, karena hakikat seluruh perjuangan menjadi bangsa tidak lain daripada mencapai kemerdekaan itu. Selanjutnya, nilai kedua yang juga sangat mendasar bagi Bangsa ini adalah keinginannya untuk memperlakukan sesamanya secara setara, sebagaimana dalam alinea ketiga dan keempat.
Itu berarti, agar keIndonesiaan itu tetap eksist dan berlangsung, maka Pancasila sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah terus dijunjung tinggi. Parktek politik yang lebioh prakarsai oleh elite politik haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Sementara sebagai warga, kita pun harus bersediah bersikap setara, adil, membebaskan, terbuka, siap berkompro,o atau berargumentasi (to reason) dengan sesama warga kita, untuk hal apa pun, dengan orang dari latarbelakang suku, agama, budaya mana pun, dalam kesetaraan dan sikap saling menerima. Jadi, dengan menghidupi nilai-nilai Pancasila yang berlandaskan kebebasan dan kesetaraan, serta keterbukaan akan pluralitas (terutama agama), tidak boleh lagi ada kelompok keagamaan ekslusif yang mau mendominasi praktek kehidupan berbangsa. Dengan itu, keadilan Rawls dan yang dicita-citakan Pancasila betul-betul fairness. Dengan fairness semacam itu, KeIndonesiaan kita sebagai negara-bangsa tetap eksist dan verlangsung dalam payung Pancasila.

Daftar Pustaka

A. A. Yewangoe, dkk., Format Rekonstruksi Kekristenan, Jakarta-Salatiga, Sinar Harapan – Bina Darma, 2006
Frans Magnis-Suseno, Pancasila Tetap Dasar Eksistensi R. I., (makalah seminar agama dan negada di Salatiga, yang diselenggarakan oleh Bina Darma, 30 Agustus 2006)
-------------------, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006
John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1971,
John Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual, Salatiga, UKSW, 2001


[1] John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1971, hal. 60.
[2]. Frans Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm 173
[3]. John Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual, Salatiga, UKSW, 2001, hlm 27