Minggu, 13 Maret 2011

TIGA MODEL KEKUASAAN POLITIK


       1. Pendahuluan
Study politik tidak hanya mencakup pengelolahan masalah publik, struktur dan organisasi pemerintah, serta kampanye pemilu secara periodik yang penuh semangat. Ia mencakup aspirasi, tujuan, keyakinan, dan nilai-nilai manusia. Ia berkaitan dengan teori dan praktek. Ketrampilan filosofis dan teknis. Telaah dan analisis historis atas filsafat politik memperlihatkan bahwa tidak hanya ada satu macam politik. Setiap filsuf memperkenalkan modelnya. Namun demikian, secara umum pemikiran politik dapat dikategorikan ke dalam tiga macam. Berikut ini akan diulas pemikiran politik Machiavelli, filsafat politik Kant, dan filsafat politik Montesquieu-Arendt yang mewakili 3 kategori besar model kekuasaan politik. Ketiga posisi ini memperlihatkan perbedaan-perbedaan kontras yang signifikan.

2.  Ulasan
Tipe politik real diperkenalkan oleh Nicolo Machiavelli. Pengalaman Machiavelli dalam politik yang korup[i] dan diliputi peperangan, membawanya pada gambaran tentang watak manusia yang suram dan rendah. Tidak seperti pandangan Plato dan Aristoteles pada zaman kuno yang memandang manusia secara positif, atau gambaran abad pertengahan yang melihat manusia sebagai citra Allah (imago Dei), Machiavelli memahami manusia murni naturalistik atau psikologis, lebih khusus dari sisi negatifnya. Maka ia memandang manusia serba negatif.  Ia mengatakan: “tentang manusia-manusia orang pada umumnya dapat berkata bahwa mereka itu tak tahu terima kasih, plin-plan, sesat, pengecut bila menghadapi bahaya dan mau untungnya sendiri”(FBH). Machiavelli menganggap semua manusia  jahat dan bahwa mereka akan selalu condong pada kejahatan yang ada dalam dirinya bila ada kesempatan. Menurut Machiavelli, manusia adalah binatang yang terutama didorong oleh kepentingan diri sendiri, ketamakan pribadi, ketakutan, kesombongan, dan nafsu akan kekuasaan.[ii]
Di sisi lain, manusia adalah objek kekuasaan. Machiavelli mengatakan: “selama engkau menyenangkan mereka, mereka pasrah kepadamu dan menyerahkan kepadamu... harta dan nyawa, hidup dan anak-anak mereka, bila bahaya itu jauh; namun kalau bahaya itu mendekat, mereka akan marah”(FBH). Jadi manusia machiavellian adalah para oportunitis yang licik, munafik, tak dapat dipercaya, tetapi juga manusia rapuh yang rela dikuasai asalkan kebutuhan-kebutuhan terpenuhi.
Kalau demikian ambiguitasnya karakter manusia, bagaimana menata kehidupan mereka dalam suatu negara? Dengan kata lain, kekuasaan politik macam apa yang tepat atas manusia-manusia egois itu? Machiavelli menjawab bahwa “seorang penguasa harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas. Penguasa harus bisa memakai kedua kodrat itu. Yang satu tanpa yang lain tak dapat ada”(FBH). Machiavelli ingin mengatakan bahwa ada dua cara, yakni melalui hukum dan kekerasan. Keduanya harus dipakai. Namun hukum sebagai cara manusiawi seringkali tidak memadai, maka kekerasan sebagai cara hewani mutlak diperlukan sang penguasa dalam menata negara.
Dalam menggunakan karakter binatangnya, “penguasa harus mampu bermain sebagai binatang buas, di mana dia harus meniru rubah dan singa; karena singa tak lepas dari jerat, dan rubah tak bisa lolos dari serigala. Jadi, dia harus menjadi rubah untuk mengenali jerat, dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala-serigala”(FBH). Artinya dalam menjalankan kekuasaan politik, sang penguasa harus cerdik, licik, cerdas, agar mampu mengenali setiap jebakan politik lawan-lawannya, supaya tidak terjerat, dan sekaligus harus pemberani dan kejam agar ditakuti oleh musuh-musuhnya. Singa tidak pernah bisa bertindak seperti rubah, tetapi penguasa sebagai manusia, persisnya karena ia adalah makhluk rasional, bisa menggunakan karakter dan kualitas binatang (rubah dan singa) yang berbeda-beda ketika situasi menuntut demikian.
Jadi kekuasaan politik Machiavelian adalah tindakan penuh manipulasi, kecerdikan, taktik, kekerasan, dan kekejaman dalam mendisiplinkan manusia-manusia ini. Moralitas jauh dari kekuasaan politik itu, karena kekuasaan sama dengan hukum, bahkan seakan-akan kekuasaan mengatasi hukum. Kekuasaan politik machiavelian bersifat monarki absolut, di mana penguasa memiliki otoritas mutlak dalam menjalankan kekuasaan demi survival bersama, termasuk dengan kekerasan/kekejaman. Kekuasaan politik Machiavelli bersifat diktator/otoriter.
Berbeda dengan Machiavelli, model politik Kant agak lunak. Bertolak dari pengandaian antropologi: Kant memang mengakui kodrat jelek manusia, tetapi diakui juga sisi positifnya. Kant melihat manusia sebagai makhluk sosial yang asosial (the unsocial sociability). Bagi Kant, ada antagonisme dalam diri manusia; di satu sisi manusia bersifat egois, liar, kasar, mengejar kepentingan dirinya, serakah, mau mendominasi/menguasai pihak lain, gila hormat, namun di sisi lain ia juga memiliki kehendak baik dan membutuhkan orang lain. Manusia merupakan diri individual, yang selalu ingin memiliki keinginan untuk hidup sendiri dan memiliki posisi lebih baik dari orang lain, dan di sisi lain ia sebagai makhluk sosial yang memiliki kemampuan sosialisasi dan hanya bisa mengembangkan potensinya dalam masyarakat. Ia ingin mendominasi orang lain, tetapi serentak tak mau didominasi. Ia tak betah dengan orang lain, tetapi sekaligus tak mampu memisahkan diri. Ia mencari posisi dalam masyarakat, tetapi serentak menginginkan independensi dan mengisolasi diri.[iii]
Menurut Kant, basis terdalam dari ketaksosialan manusia ini adalah hasrat egoisme dalam dirinya untuk mengatur segala sesuatu menurut kehendaknya. Maka konflik, pertentangan, antagonisme, adalah keniscayaan dari hidup manusia. Tetapi hal ini tak boleh ditiadakan, sebaliknya harus disyukuri. Karena justeru konflik/pertentangan itulah yang membangkitkan kekuatan-kekuatan manusia dan mendorongnya untuk mengatasi kemalasannya. Kant mengatakan bahwa dengan cara “pertentangan itulah semua bakat manusia lama-kelamaan dikembangkan, selera juga terbentuk dan bahkan lewat pencerahan terus-menerus dimulailah cara berpikir yang mengubah” (FBH). Mengapa? Karena melalui kontak dan konflik/pertentangan/persaingan dengan orang lain manusia ditantang untuk mengembangkan bakatnya, merealisasikan potensi/kemampuannya, sehingga ia mampu mengukir sejarah sebagai suatu perkembangan kemajuan. Itulah rahasia tersembunyi[iv] dari adanya kemajuan. Kant mengatakan bahwa sejarah akan lain jika manusia hidup penuh damai dan saling mencintai. Segala potensi yang ada pada manusia akan tetap dalam keadaan non-aktif.
Sifat sosial yang asosial dari individu manusia inilah menjadikan individu berbudaya. Budaya tumbuh dalam ketegangan-ketegangan antara kontak dan konflik. Bahkan secara sinis dapat dikatakan bahwa budaya lahir dari kekerasan, kemanusiaan lahir dari bergelimpangannya mayat-mayat korban perbantaian, perdamaian muncul setelah peperangan. Segala bakat terpendam manusia berkembang lewat proses kontak dan konflik ini. Kant mengatakan: “manusia menghendaki kerukunan, namun alam tahu lebih baik untuk spesiesnya: dia menghendaki pertentangan” (FBH).
Namun, selain sebagai makhluk sosial yang asosial, manusia adalah makhluk berakal budi. Rasio manusia memungkinkan terciptanya suatu tatanan rasional yang bisa mengendalikan semangat kompetisi dan egoisme  sehingga tidak menjerumuskan manusia ke dalam perilaku biadab. Kant mengatakan: “masalah pendirian negara – betapa kerasnya pun perkataan ini – dapat diselesaikan oleh sebuah bangsa setan-setan (jika mereka hanya memiliki akal)”. Akal menjadi sangat sentral dalam terciptanya masyarakat sipil di mana individu-individu rela mengabaikan kepentingan egois untuk tercapai suatu masyarakat sipil yang akan melindungi setiap individu. Jadi kendati bangsa setan-setan tidak bermoral, beragama, tetapi karena akalnya, mereka bersepakat untuk hidup dalam suatu masyarakat sipil. Rasio berfungsi strategis dalam mewujudkan tatanan itu.
Pertanyaannya, bagaimana menjamin tatanan rasional bangsa setan-setan itu? Atau kekuasaan macam apa yang kiranya menjaga mereka di tengah-tengah persaingan bebas itu? Kant berpendapat bahwa agar tatanan rasional itu menjamin para individu dari kondisi yang saling mengancam satu sama lain maka diperlukan aturan-aturan/hukum. Kant mengatakan: “untuk mengorganisir sejumlah makhluk rasional yang bersama-sama menuntut hukum universal bagi kelangsungan hidup mereka, namun setiap individu secara diam-diam cenderung mengecualikan dirinya dari yang lain, haruslah konstitusi negara itu dirancang sedemikian rupa, sehingga – meskipun parawarga negara saling bertentangan satu sama lain dalam sikap-sikap pribadi mereka – pertentangan-pertentangan itu dapat dibatasi dengan cara sedemikian rupa sehingga perilaku publik warganegara itu akan sama seakan-akan mereka tidak mempunyai sikap-sikap jahat seperti itu”.
Di sinilah manusia menyadari pentingnya hukum. Jadi berbeda dengan Machiavelli, kebijakan politik atas manusia-manusia egois itu tak perlu dikekang, tetapi cukup diciptakan suatu supremasi hukum yang mengendalikan kebebasan mereka agar tidak mengganggu satu dengan yang lain. Antagonisme individu dibiarkan hidup, sebab persaingan itu dikontrol oleh hukum sehingga tidak akan mengarah pada chaos. Kebebasan dijamin oleh hukum itu. Dan justeru dengan itu, mereka akan sadar akan pentingnya kebutuhan bersama: perdamian. Bahkan penguasa yang menjalankan politik juga taat pada hukum. Hukum mengatasi kekuasaan. Pada kekuasaan politik Kant, kita menemukan model demokrasi liberal.
Berbeda dengan model kekuasaan politik Machiavelli yang diktatoris, dan Kant yang liberal, posisi ketiga berikut bertolak dari pengandaian antropologis yang cukup positif. Model kekuasaan politik ini berangkat dari pengandaian antropologi republikan Montesquieu. Montesquieu mengatakan: “rasa takut, kiranya menyebabkan manusia-manusia saling menjauh satu sama lain. Akan tetapi mereka kiranya segera bergerak mendekat satu sama lain, bila mereka menerka dari gerak gerik dan air muka orang lain bahwa rasa takut itu timbal balik. Lagi pula pendekatan itu akan cepat menimbulkan rasa senang yang dirasakan oleh setiap makhluk saat mendekati makhluk lain dari spesies yang sama” (FBH). Kodrat manusia Montesquieu bukan makhluk egois seperti Machiavelli, dan  Kant. Ia adalah makhluk yang lemah, takut, dan tak berdaya. Ia tidak terlalu baik, tapi juga tidak begitu jahat. Tetapi justeru ketakberdayaannya itu menjadi kondisi untuk berkorporasi, berkomunikasi, dan membangun hubungan dengan pihak lain demi tujuan bersama. 
Tepat pada kemampuan terbuka dengan pihak lain, kesalingan berkomunikasi, dan membangun kehidupan bersama yang merupakan ciri-ciri republik inilah Arendt memahami politik. Jadi suatu komunitas politis adalah sebuah res publikia, yaitu suatu kehidupan bersama secara politis dengan melangsungkan proses formasi kehendak bersama dan opini publik secara demokratis. Maka Arendt memahami kekuasaan politik berbeda dengan yang lazimnya dikaitkan dengan kekerasan (sebagai instrumen kekuasaan), atau kekuasaan manusia atas manusia yang lain menurut kehendak yang berkuasa. Arendt mengatakan: “kekuasaan selalu merupakan potensi kekuasaan, dan bukannya sesuatu yang tetap, terukur dan pasti seperti daya atau pun kekuatan.” Maksudnya, berbeda dengan daya (force) yang sering dikaitkan dengan kekuatan alam fisik, atau kekuatan (strength) yang merupakan kualitas individual setiap manusia (inheren pada tiap individu), bagi Arendt kekuasaan (power) bukanlah sesuatu yang kodrati dalam diri manusia, melainkan artifisial. Arendt mengatakan: “kekuasaan sesungguhnya tidak dimiliki oleh seorang pun. Kekuasaan terjadi diantara manusia-manusia, jika mereka bertindak bersama-sama, dan dia lenyap, begitu manusia-manusia itu bubar”. Jadi Arendt memahami bahwa kekuasaan itu hanya ada sejauh individu-individu mau berkumpul dan berpartisipasi bersama-sama dalam suatu res publika, atau polis. Sehingga kekuasaan bukan lagi sebagai alat untuk memaksakan kehendak seseorang (penguasa) bagi yang lain (rakyat), tetapi suatu bentuk kehendak bersama-sama dalam sebuah relasi yang harmonis dan saling memahami. Lebih jauh, hubungan antar individu tersebut berada pada tingkat yang sama. Oleh karena itu, ketika kelompok itu pecah, maka dengan sendirinya kekuasaan itu hancur.
Dengan demikian, kekuasaan politik bagi Arendt adalah kekuasaan seluruh wagra negara yang tergabung dalam suatu republik (kedaulatan rakyat). Dalam republikanisme Arendt ini, setiap individu yang berkelompok di dalamnya memiliki kekuasaan politik yang sama dengan individu lainnya, maka ia harus berpartisipasti secara politis dalam negara itu. Artinya melalui keaktifanya, setiap warga bersedia menempatkan keutamaan umum (kesejahteraan, keadilan) di atas kepentingan pribadi, terlibat dalam dalam komunikasi/diskursus rasional di dalam res publika atas persoalan-persoalan polis. Arendt mengatakan: “kekuasaan tidak hanya untuk bertindak/mengerjakan sesuatu, tetapi juga untuk bergabung bersama-sama dengan orang lain dan bertindak dengan mereka dalam persesuaian paham”. Jadi berbeda dengan kekuasaan absolutisme Machiavelli, yang memberi hak lebih kepada penguasa dalam mendisiplinkan rakyatnya, juga berbeda kekuasaan liberalisme Kant (Hobbes dan Locke) yang mengabstaksikan individu-individu terpisah dari komunitas politis dan berhadapan dengan kekuasaan politis yang berupa hukum itu, republikanisme Arendt adalah suatu demokrasi sosial yang meletakan kekuasaan di tangan seluruh wagranegara yang berkelompok – kekuasaan adalah kekuasaan (kedaulatan) rakyat.

3. Catatan Penutup
Cita-cita Machiavelli membangun model kekuasaan politik yang kokoh dan survive patut didukung. Tujuan umum yang menjadi maksud dari negara Machiavelli juga harus disetujui. Namun pandangannya tentang manusia yang hanya dari satu sisi – negatifnya, merupakan bukti kesempitan berpikir. Pemisahan moralitas dari politik juga sulit diterima. Tetapi yang terutama 2 kecacatan berikut perlu diperhatikan: 1) bahwa kekuasaan yang hanya berdasarkan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya rapu. 2) Machiavelli tidak melihat bahwa stabilitas kekuasaan tergantung dari apakah kekuasaan dipandang sebagai sah atau tidak oleh masyarakat. Pendekatan ini sempit.[v]
            Model kedua memperlihatkan kemajuan. Hak-hak liberal individu terjamin dalam model politik kedua ini. Kebebasan negatif tercipta di sini. Penguasa memiliki kewajiban untuk menciptakan kondisi etis bagi masyarakat. Demokrasi berkembang. Namun dalam demokrasi liberal ini, individu bisa tercerabut dari komunitas politiknya bilamana individu tidak peduli dengan komunitas dan selalu berdiri berhadapan dengan negara dan hanya menuntut perlindungan, dan tidak berpartisipasi politik di dalamnya sebagai anggota komunitas sipil.
            Sedangkan, posisi ketiga menunjukkan suatu bentuk ideal dari kekuasaan politik. Kekuasaan politik republikanistik ini sangat khas dalam mana ia mendorong demokrasi: pembentukan kehendak umum dalam suatu komunikasi yang diarahkan pada pencapaian tujuan menuju kesejahteraan umum. Namun kelemahan konsep kekuasaan ini terletak pada kenyataan bahwa Arendt tetap terikat oleh konstelasi historis dan pengertian Aristoteles. Arendt memisahkan pengertian Yunani kuno praxis (bertindak bersama dalam kerangka polis) dari Poiesis (menghasilkan, berproduksi) dan theoria (memandang yang menghasilkan pengetahuan). Sayangnya Arendt memasukkan kekuasaan politis hanya dalam kategori praxis. Menurut Habermas, pemisahan ini membuatnya tidak mampu memhitungkan dimensi-dimensi politis yang strategis, sistemis, dan struktural dalam konsep kekuasaannya. Hal ini menghilangkan pelan-pelan segala elemen strategis sebagai “kekerasan” dari politik; mengeluarkan politik dari hubungannya dengan sistem ekonomis dan masyarakat, dimana politik diikat melalui sistem administratif; dan tidak mampu menangkap gejala-gejala kekerasan struktural.



[i] Yang dimaksud Machiavelli dengan Korup di sini ialah semua tindakan yang menempatkan kepentingan tertentu di atas kepentingan umum. Jadi bukan hanya “penyalahgunaan kekuasaan politik untuk mencapai keuntungan prinadi atau sebaliknya,” tetapi juga seperti tindakan mengangkat senjata untuk melawan Negara, menipu demi kemasyuran pribadi. Lihat Robertus Robert, Republikanisme dan keindonesiaan, Tangerang: Margin Kiri, 2007. hlm 29
[ii] Band. Hendry J Schmandt, Filsafat Politik, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002, hlm 254
[iii] Lihat Howard Williams, Filsafat Politik Kant, Surabaya: J-Press, 2003, hlm 12
[iv] Tersembunyi karena sifatnya abstrak, halus, tak terlihat pada diri manusia individual, melainkan dapat dibaca  dalam perilaku spesies manusia sepanjang sejarah. Misalnmya revolusi dan reformasi adalah alam yang secara diam-diam bekerja mewujudkan kebebasan.
[v] Frans Magnis-Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 2001. hlm 9


Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik (Diktat), Jakarta: Driyarkara, 2001
………….., Memahami Negativitas, Jakarta: penerbit buku Kompas, 2005
………….., Watak Paradoksal Hak Asasi Manusia, dalam Majalah Basis, edisi Maret-April 2007
Machiavelli, Nicolo, Sang Penguasa, Jakarta: Gramedia, 1987
Magnis-Suseno, Frans,  Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 2001
........................., Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 2001
Montesquieu, The Spirit of Laws, Bandung: Nusamedia, 2007
Robert, Robertus Republikanisme dan keindonesiaan, Tangerang: Margin Kiri, 2007
Schmandt, J. Hendry, Filsafat Politik, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002
Williams, Howard, Filsafat Politik Kant, Surabaya: J-Press, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar