Minggu, 13 Maret 2011

Eksistensi Candi Borobudur Sebagai Kekayaan Religi dan Budaya di Tengah-tengah Penilaian Dunia dan Tantangan Zaman


1. Pendahuluan
            Pemilihan dan penetapan tujuh keajaiban dunia yang baru (new seven wonders) pada tahun 2007 telah mengundang banyak reaksi. UNESCO sebagai badan kebudayaan PBB yang berhak menetapkan situs-situs warisan dunia menolak untuk mendukung kegiatan ini. UNESCO sendiri telah menetapkan keajaiban dunia masa lalu meliputi Taman Gantung Babilonia, Patung Zeus di Olympia, Kuil Artemis di Ephesus, Makam Halicarnassus, Colossus dari Rhodes, Mercusuar Pharos Iskandariah, dan Piramida Giza di Mesir.
            Bernard Weber, seorang berkebangsaan Swiss mengusung proyek pencarian tujuh keajaiban dunia yang baru. Dari 77 kandidat yang dinominasikan, 21 situs ditetapkan menjadi finalis dan dipilih melalui polling sms. Alasan mendasar bagi Weber melakukan proyek ini adalah untuk menyatukan dunia dan simbol kebanggaan bersama terhadap warisan budaya dunia. Meskipun UNESCO menolak memberikan dukungan terhadap kegiatan ini, tetapi banyak warga dunia memberi responnya terhadap proyek Weber tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya 100 juta orang yang telah memberikan dukungan baik melalui media internet maupun komunikasi telepon. Hasil polling menetapkan Tembok Besar China, Colosseum di Roma, Taj Mahal di India, Reruntuhan Pink Petra di Jordania, Patung Kristus Sang Penebus di Rio de Janeiro, Reruntuhan Machu Picchu Inka di Peru, dan Kota Kuno Bangsa Maya “Chichen Itza” di Meksiko.
            Ikon tujuh keajaiban dunia yang diumumkan pada 7 Juli 2007 itu tidak hanya menampilkan nuansa kekhasan estetika budaya yang berbeda, namun juga mempertegas peradaban manusia yang tinggi. Namun di pihak lain, negara-negara yang memiliki situs budaya ‘ajaib’ tetapi tidak diikutsertakan dalam pemilihan ini, cenderung bersikap menolak dan tidak menerima hasilnya. Sebab, bagi mereka kriteria penilaian terhadap ‘keajaiban’ situs tidak hanya dapat diukur dengan menggunakan polling sms tetapi harus dinilai keseluruhan aspek historis, estetika, arsitektur dan budayanya.
Mengamati persoalan tersebut, lalu ketika melalui kuliah filsafat Timur, di mana pengampunya dengan kekayaan dan kedalaman pengetahuannya atas keragaman religi dan budaya Timur dan menyajikannya, dan secara khusus melalui tugas ini, saya tertarik untuk mengenali dan mempelajari religi dan kebudayaan kita yang memiliki keunikan nilai-nilai juga. Maka dalam tulisan ini saya ingin memperkenalkan candi Borobudur sebagai salah satu kekayaan budaya dan religi bangsa Indonesia. Hal ini bertujuan agar setiap orang dapat memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang budaya (khususnya Borobudur) dan menumbuhkembangkan rasa kecintaan terhadapnya.

2. Mengenal Candi Borobudur
            Secara etimologis, istilah Borobudur mencakup beberapa kata: pertama, borobudur berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Kedua, ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Ketiga, istilah ini berasal dari dua kata bara yang berasal dari kata ‘vihara’, sementara ada penjelasan lain pula bahwa kata bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara  dan beduhur, artinya ialah tinggi. Sehingga, bara beduhur dimaksudkan sebagai sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.           
            Candi Borobudur adalah sebuah nama candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi ini adalah ± 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi Borobudur dibangun dengan menggunakan ± 55.000 m³ batu dan memiliki 1460 relief dan 504 stupa Buddha di kompleksnya. Tinggi bangunan ini sampai ke puncak adalah 42 m, dengan lebar dasar 123 m. Tegak dan kokoh menjulang ke angkasa dan merupakan bagian sejarah yang telah berumur 12 abad atau telah didirikan sekitar tahun 800-an Masehi oleh para penganut agama Buddha Mahayana, pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
            Arsitektur candi Borobudur terdiri dari tiga bagian utama yaitu kaki, badan dan kepala candi, sehingga dikatakan berbentuk punden berundak dengan karakteristik tiap bagian tersebut memiliki enam tingkat berbentuk bujur sangkar (kaki), tiga tingkat berbentuk bundar melingkar (badan), dan sebuah stupa Buddha sebagai puncaknya (kepala) yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mazhab Buddha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Buddha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
            Adapun penjelasan yang dapat diuraikan tentang tiga bagian utama candi Borobudur, yaitu sebagai berikut:

Ø  Bagian dasar disebut Kamadhatu
Kamadhatu merupakan gambaran tentang dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah” atau melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi.
Ø  Empat tingkat di atas kamadhatu yaitu Rupadhatu
Lantainya berbentuk persegi dan patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas selasar. Bagian ini adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk dan  melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas.
Ø  Bagian badan atau tiga tingkat di atas kaki disebut Arupadhatu
Patung Buddha pada tingkat ini diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang seperti dalam kurungan dan denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, alam yang tidak berupa, tidak berbentuk, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Ø  Bagian paling atas disebut Arupa
Stupa pada bagian ini digambarkan polos tanpa lubang-lubang yang melambangkan nirwana, tempat Buddha bersemayam.
Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem. Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuno atau daksina yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ialah timur. Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Buddha. Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
a. Karmawibhangga
Secara keseluruhan, relief ini menggambarkan kehidupan manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir. Ada hukuman yang akan diperoleh manusia terhadap perbuatan tercelanya dan ada pula perbuatan baik dan pahala baginya. Oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
b. Lalitawistara
Ada 120 pigura pada relief ini yang menggambarkan riwayat Sang Buddha (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras.
c. Jataka dan Awadana
Pada relief candi Borobudur, jataka dan awadana diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Bahwa jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Sedangkan awadana hampir mirip dengan jataka namun menekankan pada orang lain.
d. Gandawyuha
Relief ini menghiasi dinding lorong ke-dua tentang cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.

3. Eksistensi candi borobudur di tengah arus modernisasi dan globalisasi
            Perkembangan dunia tak dapat dihindarkan, tak dapat pula ditolak. Perubahan menjadi suatu urgensi kebutuhan yang mengisi ruang-ruang publik. Setiap fase perubahan menawarkan beranekaragam materi yang memperhadapkan wujudnya pada individu manusia untuk menetapkan pilihan. Dinamis dan semakin bergerak cepat meninggalkan argumentasi diri tentang hakekat dan makna perubahan itu sendiri. Modernisasi lambat laun mengikis peradaban tradisional yang berkontribusi besar dalam mempertahankan identitas kelompok manusia. Di sisi lain, tidak ada lagi hasrat untuk mengetahui dan mempelajari historisitas situs budaya tertentu, karena kesibukan pikir terlalu digerus oleh teknologi. Dalam kondisi demikian, maka perlu dipertanyakan : masih layakkah keberadaan situs-situs budaya seperti candi Borobudur (dan juga situs budaya lainnya yang masih eksist) dilestarikan? Apa makna eksistensi candi borobudur dalam bingkai ruang peradaban modern bangsa Indonesia ini? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, ‘memaksa’ kita untuk melakukan refleksi terhadapnya. Fakta penjualan arca ke tangan pihak asing oleh seorang pengusaha di Solo pada tahun lalu, menunjukkan betapa buruknya pengawasan dan pemeliharaan aparat yang berwewenang terhadap situs budaya yang semestinya dilestarikan. Rasa memiliki, kebanggaan, dan kecintaan terhadap budaya sendiri memudar.
            Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO pun pernah mengalami hal yang serupa. Ketika tahun 1896, pemerintah Hindia Belanda, melalui Residen Kedu, mengambil delapan gerobak penuh patung dan bagian Borobudur yang indah untuk dihadiahkan kepada Raja Siam. Bahwa Raja Chulalangkon ketika mengunjungi Borobudur sangat tertarik akan patung-patung Buddha dari candi tersebut. Maka diangkutlah hadiah dari Belanda itu ke negaranya. Sampai sekarang benda berharga dari candi Borobudur itu tersimpan di Museum Bangkok, Thailand. Nilai estetika candi Borobudur ibarat memiliki kesaktian yang mampu menyihir siapa pun penikmatnya. Tindakan tersebut memperlihatkan terjadi absurditas makna atas candi Borobudur yang hakekatnya mengandung fakta historis perkembangan agama Buddha di Indonesia, dan kekayaan budaya bangsa. Di sisi lain, ketidakakuan publik internasional terhadap Borobudur dalam pemilihan tujuh keajaiban dunia yang baru (new seven wonders) versi Bernard Weber, memperlihatkan kurang dikenalnya candi Borobudur.
            Maka kiranya beberapa argumentasi perlu dikemukakan dalam kaitan dengan memudarnya penghargaan terhadap candi Borobudur di mata dunia sebagaimana ditunjukan. Pertama, entah UNESCO, apalagi Bernard Weber (yang barangkali berlatar belakang bisnis) tak berhak menetapkan suatu kebudayaan sebagai yang lebih unggul daripada kebudayaan lain. Sebab setiap kebudayaan memiliki nilai keunikannya sendiri. Tidak ada kebenaran universal yang berlaku dalam penilaian kebudayaan. Penilaian selalu relatif dan subjektif, sebab pengenalan seseorang terhadap keseluruhan budaya juga terbatas. Belum lagi metode penilain selalu subjektif. Kedua, kalau pun dilakukan, metode macam apa yang digunakan harus dipikirkan secara baik agar mendekati objektifitas. Ketiga, sebagai bangsa Indonesia, sudah seharusnya kita bertanggungjawab terhadap situs budaya yang menjadi warisan bangsa, maka Borobudur harus kita hargai, lestarikan, pelihara, rawat, dan promosikan.
Sebab Borobudur tidak hanya menjadi sebuah simbol budaya yang kokoh berdiri di atas bukit di kota Magelang, yang memiliki daya mistis yang mampu menggoda pengunjung untuk menyusuri lorong-lorong atau menaiki tangga hingga dapat berpose pada patung-patung Buddha atau stupa utamanya. Ia lebih dari sekedar kata yang melekat dalam pikiran setiap orang dan menunjuk pada sebuah candi. Borobudur justeru telah menjadi identitas khusus, unik, dan khas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya dan religius.
            Rentangan historis candi Borobudur, tidak hanya menguraikan sebuah situs budaya yang menjadi identitas bangsa Indonesia, tetapi juga eksistensi agama Buddha di Indonesia. Kondisi ini menempatkan Borobudur berkontribusi besar sebagai salah satu unsur konstruksi peradaban agama dan manusia. Agama Buddha dipelajari pula melalui relief-relief yang dipahat oleh tangan-tangan manusia di masa lalu, dan pada kekinian justeru menjadi sumber pembelajaran (source of learning) bagi umat Buddha di dunia dan kita semua. Ajaran agama Buddha Mahayana yang terekam dalam bentuk pahatan dimulai dari tingkat paling dasar hingga utama itu tidak hanya menjadi sebuah bangunan, tetapi ada kandungan falsafah kehidupan manusia juga yang terurai pada setiap tingkat demi tingkat yang ditapaki, maka perlu dipelajari dan dihayati oleh setiap insan manusia.
Borobudur menunjukkan bagaimana manusia hidup dalam beraneka ragam dunia yang penuh dengan rupa hawa nafsu dan kejahatan; atau pada sisi lain ada pula dunia yang penuh kebaikan yang akan mendatangkan pahala. Tujuan daripada kehidupan itu sendiri sebagaimana digambarkan pada bentuk materi candi yaitu menuju kepada kesempurnaan. Tingkatan demi tingkatan dari dasar hingga puncak membentuk pemahaman yang lebih komprehensif bagi insan manusia dalam menjalani kehidupan. Nafsu dunia dan segala kejahatannya, hanya akan menyesatkan. Kebaikan menguntungkan karena pahala akan diperoleh. Namun, kemurnian hidup dengan menanggalkan segala bentuk kehidupan yang fana, akan mengarahkan jiwa si pemilik kehidupan pada Nirwana. Itulah yang kiranya perlu dipahami, dihayati dan dihidupi.

4. Penutup
Arsitektur Borobudur memperlihatkan keindahan dan keunikan suatu situs budaya bangsa Indonesia. Ia merupakan kekayaan budaya dan religi kita. Falsafah yang terkandung di dalamnya dapat menjadi bahan refleksi atau penghayatan tidak hanya bagi kaum Budhis tetapi juga setiap insan manusia yang mau memahami diri dan hidupnya di dunia. Di lain sisi, situs budaya ini dapat menjadi simbol pemersatu bangsa di tengah-tengah polarisasi hidup yang makin individual dan tantangan global yang menggerus nilai-nilai identitas masyarakat. Maka terlepas dari penilaian pihak luar, sebagai bangsa kita semestinya senantiasa memiliki rasa kecintaan dan kebanggaan atas segala kekayaan religi dan budaya kita (seperti Borobudur), sehingga mau belajar mengenal, memahami, melestarikan, menghayati, dan menghidupinya agar tidak terjadi kemiskinan pengetahuan dan sikap hidup sebagai bangsa yang berbudaya, beradab, dan religius.


DAFTAR PUSTAKA
Borobudur. Downloaded version http://www.wikipedia.com ... 30/03/2009.
Dewi, T. 2007. Tujuh keajaiban dunia baru. Downloaded version http://www.tempointeraktif.com ... 11/04/2009.
Hadiwijono, H. 2001. Agama Hindu & Buddha. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.
Silhouette. 2003. Borobudur. Downloaded version http://www.navigasi.net ... 30/03/2009.
Sutrisno,Mudji, Zen Budhis: Ketimuran&Paradoks Spirituaitas, Jakarta: Penerbit Obor, 2004
Utomo, Y.W. 2003. Borobudur, candi Buddha terbesar di abad ke-9. Downloaded version http://www.yogyes.com ... 30/03/2009.
Tujuh Keajaiban Dunia "baru" Diumumkan di Tengah Kontroversi.  Downloaded version http://www.antara.co.id/arc/2007 ... 11/04/2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar