Minggu, 13 Maret 2011

HUBUNGAN ANTAR MANUSIA MENURUT EMMANUEL LEVINAS (2)


Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush dalam pidato kenegaraannya di tahun 2002, menyebut Iran, Irak, dan Korea Utara sebagai poros kejahatan (axis of evil). Dan baru dalam pidato awal Maret lalu (2006), Bush menjelaskan alasan menggunakan julukan itu. Sebab, kata Bush, dia prihatin dengan negara-negara yang ‘tidak transparan’ dan telah menyatakan berniat mengembangkan senjata-senjata nuklir. Bush mengatakan: “saya sudah mengatakan sebelumnya bahwa ada poros kejahatan dan poros itu mencakup Iran serta Korea Utara. Saya mengatakan demikian karena saya prihatin dengan pemerintahan-pemerintahan Totaliter yang tidak transparan, yang menyatakan niatnya untuk mengembangkan senjata nuklir” (Suara Merdeka; 21 Maret 2006, 13). Terlepas dari berbagai latar belakang kepentingan lain, Amerika Serikat memiliki alasan keamanan dunia secara global – menempatkan diri sebagai polisi dunia demi keselamatan seluruh umat manusia dalam level global, sementara Korea Utara dan Iran merasa pantas mengembangkan Uranium. Bahkan dengan alasan sebagai negara berdaulat.
Pernyataaan Russel tentang munculnya negara adikuasa untuk menghapuskan kedaulatan nasional dan angkatan bersenjata nasional, dan mengggantikannya dengan satu pemerintahan internasional tunggal yang memiliki monopoli atas angkatan bersenjata, sebagai cara mengakiri persaingan kekuasaan, harta kekayaan, dll. (Lih Bab II) nampaknya nyata dalam kasus di atas.
Ketegangan antara penyamarataan “budaya MacWorld” dan hasrat komunitas-komunitas lokal untuk mewujudkan identitas khas, kadang-kadang (diantara) primordial mereka masing-masing, antara kekuatan-kekuatan pemersatu globalisasi di satu pihak dan konflik semakin banyak pandangan hidup, religius, moral, ideologis yang tidak mau bersatu di lain pihak sebagai mana dikemukan Magnis Suseno adalah bagian dari situasi ini (lih Bab 1). Bahkan dalam konteks Indonesia, ketegangan antara identitas primordial seperti kesukuan, budaya, ras, golongan, agama dll dengan identitas nasionalnya yang bernama bangsa Indonesia pun nyata, bahkan menimbulkan berbagai gejolak konflik (lih Bab IV, relevansi).
Dalam situasi-situasi demikian, pemikiran filosofis Levinas dapat menjadi tawaran solusi. Sebab apa yang dialami (dalam perang dunia kedua) dan diikirkan (dalam tradisi filsafat Barat) oleh Levinas memang masih nyata dalam konteks sekarang. Pertama, Levinas hidup dalam situasi sosial politik yang paling mengerikan. Orang-orang Yahudi sebagai komunitas ras lain, yang minoritas, pendatang, yang dianggap lain, menjadi korban dalam kekejaman Nazi. Dengan keberadaan mereka yang “berlainan ras”, “minoritas” dan “asing” itu lalu mereka mendapat perlakukan yang diskriminatif dan kekerasan. Bahkan menurut Levinas, apa yang terjadi dalam abad kedua puluh itu, hanya merupakan puncak dari perlakukan yang diskriminatif terhadap mereka sepanjang sejarah. Mengapa hal itu terjadi? Menurut Levinas, ini terjadi karena orang dalam kedirian dan keberlainannya itu – “minoritas”, “asing”, “dia lain dari aku”, “kecil”, dan lain sebagainya” lalu tidak dihargai. Dan dalam hal ini, Levinas menuduh tradisi filsafat barat sebagai yang paling bersalah karena cenderung menyamaratakan yang berbeda dan yang berlainan dalam sebuah totalitas. Filsafat barat, menurut Levinas selalu mereduksikan yang “banyak” ke yang “satu” dan “kelainan” ke “kesamaan”. Levinas bahkan berkesimpulan bahwa pemikiran totaliter ini justeru merupakan salah satu unsur latar belakang dibalik semua bentuk penindasan, pemerkosaan, pembunuhan, dan diskriminasi terhadap orang yang “lain daripada kita”, yang terjadi sepanjang sejarah.
Maka, sebagai solusi atas kerangka berpikir totalitas itu, Levinas menganjurkan ketakterhinggan (infinity). Dengan ketakterhinggaan dimaksud adalah bahwa orang lain harus diakui dan diterima apa adanya, karena ia mutlak. Ia harus diakui dan diterima dalam keberlainannya itu. Sebab orang lain itu tak terhingga (Infinity). Ia adalah orang lain, yang lain dari aku. Ia berada di luar segala kekuasaanku. Aku tidak dapat mendekatinya dengan caraku. Ia muncul sebagai wajah, sebagai orang lain. Dan kemunculan wajah itu menjadi suatu himbauan agar saya mengakui dan menerima, serta bertanggung jawab atasnya. Orang lain itu “telanjang” dan “luhur”. Telanjang, karena ia adalah ia, tanpa sesuatu apa pun yang dapat menjadi pengantara, atau tameng, atau alat penawar. Luhur, karena tidak dapat diabaikan, dikesampingkan, atau dianggap sepi apalagi diobyekkan. Pada saat itu, ia adalah mutlak, tak terhingga. Kemutlakannya memaksa saya menjawab; ini lah aku.
Cara berpikir Levinas yang mengajak setiap orang untuk merubah cara pandangnya, yakni mampu melihat orang lain dalam kedirian dan keberlainannya itu, serta darinya dibangun suatu hubungan manusiawi yang penuh tanggung jawab, bebas dan setara, memiliki signifikansi yang terbuka untuk direlevansikan ke dalam banyak konteks sosial yang berlainan. Upaya menjadi “polisi dunia” oleh sang adikuasa dan penegakkan “kedaulatan” olah pihak yang merasa memiliki hak; semangat “budaya MacWorld” dan pengunjukkan identitas primordial; ketegangan antara identitas nasional dan primordial dalam konteks Indonesia:; tidak harus menjadi seteru,  bila pemikiran filosofis Levinas ini dipahami dan dimiliki oleh semua pihak. Itu berarti, yang hendak disadari ialah bahwa setiap orang memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu adalah kebebasan yang bertanggung jawab: kebebasan itu memiliki batasannya dalam perjumpaan dengan sesama, yakni menghargai kebebasan orang lain itu juga.
Secara khusus dalam konteks bangsa Indonesia yang majemuk dalam berbagai hal, terutama dalam hal agama, pemikiran Levinas menjadi sangat signifikan (Bab IV). Ketegangan antara identitas primordial dan nasionalnya, khususnya dalam keagamaan dan kebangsaannya tidak harus terus berseteru. Pluralitas keagamaan mestinya dihayati sebagai anugerah Tuhan. Para pendiri bangsa menyadari realitas itu, sehingga menciptakan sebuah konsensus bersama yang menjamin kemajemukan tersebut: Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, gereja yang memiliki panggilan mewujudkan kerajaan Allah, sebaiknya merubah paradigma berpikirnya (sebagai ajakan sekaligus) terhadap agama-agama lain sehingga dapat tercipta suatu relasi yang konstruktif, dan darinya dapat bersama-sama membangun bangsa ini sesuai yang dikehendaki dari kemerdekaannya. Gereja dalam hal ini, bersama-sama agama-agama lain harus mengembangkan suatu sikap transformatif: menyadari keterbatasannya dalam menghadap Yang Ilahi, dan mau berdialog untuk memperkaya diri – menciptakan suatu sikap teologis, dan darinya dapat sama-sama menggumuli persoalan bangsa – menangani masalah kemanusiaan.  Kerajaan Allah yang meliputi kasih, keadilan, kebenaran, budaya nir-kekerasan, tanpa diskrimiasi, kesetaraan, kemerdekaan, dan lain-lainnya yang merupakan hakekat injil harus dibudayakan sebagai perwujudan kasih Tuhan dalam konteks Indonesia. Ketika gereja (bersama agama lain tentunya) melakukan hal itu, ia telah menjawab panggilannya itu. Dengan demikian, dalam bahasa Levinas, gereja sudah menjawab: inilah aku, utuslah aku!

1 komentar:

  1. Suatu Kupasan Yang sangat Menarik dari "Hubungan Antar Manusia Menurut Emmanuel Levinas" sehingga Gereja lebih aktif lagi memahami makna yang sesungguhnya terhadap Mampu melihat perbedaan sehingga tidak terjadi kontradiksi dari pandangan "Levinas yang mengubah cara berpikir setiap orang" sehingga dalam hal ini betapa jelaslah Sikap Skeptis Gereja terhadap kata Inilah aku Utuslah aku dalam kehidupan Nabi Yeremia. Terimakasih Pak Gusti

    BalasHapus