Kamis, 17 Februari 2011

KEADILAN JOHN RAWLS DAN PANCASILA


KEADILAN JOHN RAWLS DAN PANCASILA
Suatu Upaya mengatasi Pluralitas Agama Demi Eksistensi (Persatuan) Bangsa

1. Permasalahan Bangsa
Semangat Fundamentalisme berupa bangkitnya identitas-identitas primordial berupa Agama, Suku dan kedaerahan, yang cenderung bertindak anarkis, belum lagi Bencana Alam, korupsi para elite politik yang merugikan rakyat, dan lain-lainnya; serta kehadiran Globalisasi dengan jargon utamanya Neo-Liberalisme adalah tantangan paling berat yang merongrong eksistensi dan keberlangsungan Bangsa Indonesia saat ini. Indonesia sedang digerogoti jati dirinya. Tantangan semacam ini, paling rawan merangsang primordialisme keagamaan karena nilai-nilai religiusitas dianggap yang paling sakral untuk diganggu, apalagi oleh budaya asing semacam globalisasi. Kelompok keagamaan yang paling ketat tidak dapat diajak berkompromi dalam kondisi ini. Penolakan total adalah sikap mereka.
Namun persoalannya toidak sebatas itu. Permasalahannya adalah kelompoik keagamaan yang paling fundamental ini  (seperti FPI, Salafi, dll) seringkali memaksakan nilai/kebenaran yang mereka miliki dalam kehidupan yang lebih luas, tepatnya dal;am bangsa Indonesia. Persoalan berlanjut karena tindakan anarkhis pun dilakukan asalkan nilai mereka diwujudkan. Bahayanya tidak hanya penganut agama lain yang dimusuhi, tetapi bahkan aliran yang berlainan dengan mereka dalam agama yang sama pun dianggap musuh. Dengan sikap itu, pluralitas keagamaan yang dipayuingi Pancasila dan UUD 1945 diabaikan – sebab mereka tidak toleran apalagi mau berkompromi dengan pihak yang berbeda dari mereka.
Bila pemaksaan nilai primordial (agama) yang mengatasi nilai nasional (Pancasila) semacam itu di biarkan mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara, apa konsekkuensi yang bakal terjadi? Di manakah prinsip keadilan yang disepakati dan dijanjikan dalam Pancasila ketika hendak menjadi satu bangsa – bangsa Indonesia? Dalam tulisan ini, penulis mencoba memaparkan realita pluralitas, yang tetap dapat memperoleh legitimasi (jaminan) keadilan dalam filsafat politiknya Rohn Rawls – jadi sengaja dicari argumentasi filosofis-rasionalnya,  yang dalam konteks Indonesia, relevan pula dalam Pancasila, dan karena itu, prinsip keadilan yang menjamin pluralitas itu harus tetap dijaga dan dikembangkan demi eksistensi bangsa.
2. Realitas Pluralitas tetap dapat diatasi dengan Adil dalam teori John Rawls

Pada dasarnya, manusia dalam kenyataan kodrat dan personanya saja berbeda (pluralistik), entah berupa keinginan atau hasrat, pemikiran, gaya, daya tarik atau kesukaan, dan lain-lainnya. Dua orang kembar pun tak pernah memiliki keinginan atau pemikiran yang sama. Maka tentu juga dalam realitas manusiawi yang lebih luas pun atau di luar dirinya; entah berupa tradisi, kebudayaan, agama, nilai, moral, kepentingan, ideologi, dllnya akan beranekaragam pula. Dengan kondisi manusiawi yang wajar demikian, tak dapat disangkal bahwa ketegangan antar subyek yang satu dengan yang lain, bahkan antar kelompok subyek pun tak terelakkan.  Hal ini, terutama dalam hal kepentingan dan ideologi, adalajh lebih rumit lagi – bagaimana mungkin mengatasi kepentingan dan pikiran banyak orang secara adil.
John Rawls menawarkan suatu prisnsip keadilan yang menjamin pluralitas. Rawls menegaskan bahwa ada dua prinsip dasar keadilan;  pertama, setiap manusia harus mempunyai persamaan hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama dimiliki orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga  (a) diharapkan memberikan keuntungan pada setiap orang, (b) dan semua kedudukan  dan jabatan terbuka untuk semua orang ( yang lalu harus dijabarkan dalam sebuah undang-undang dasar, sistem hukum, dan seterusnya)[1] Jadi, gagasan dasar Rawls adalah: segenap masyrakat tertata dengan baik apabila tatananya dapat diterima oleh semua sebagai adil; oleh orang dari latar belakang agama, budaya, dan keyakinan politik apapun.
Menyadari dilema, terutama dalam komunitas-komunitas yang memiliki jurang perbedaan yang dalam, Rawls mengandaikan bahwa kendati demikian, tentu saja masih cukup “kesamaan” sehingga dapat dimukinkan tercapainya sebuah overlapping Consensus tentang tatanan dasar kehidupan bersama. Artinya tentu saja mereka masing-masing menuntut agar dapat hidup menurut tradisi dan cita-cita masing-masing, tetapi karena dalam sistem nilai mereka terdapat masing-masing toleransi (yang baik) dan fairness pun dijungjung tinggi, maka mereka menyetujui menetapkan  suatu tatanan hidup bersama yang dapat diterima oleh semua.  
Untuk itu Rawls membedakan antara dua pluralisme; “reasonable pluralism” dan “unreasonable pluralism”.[2] Reasonable bukan dalam arti “rasional”, melainkan dari kata “to resaon about”, sebagai bersedia beragumentasi dan berkrompomi. Tentu saja, tentang keyakinan moral inti dan keagamaan sebuah komunitas tidak bersedia untuk tawar-menawar. Akan tetapi, tentang kerangka hidup bersama dengan komunitas lain mereka bersedia “to reason”, untuk mempertimbangkan pelbagai sudut, jadi untuk tidak memutlakkan cita-cita mereka sendiri. Artinya, mereka mampu untuk berkompromi.
Lain halnya kelompok-kelompok dengan keyakinan-keyakinan yang unreasonable, entah karena mereka berdasarkan sebuah ideologi atau paham keagamaan yang keras, kelompok-kelompok itu mempunyai pandangan yang eksklusif, dan karena itu tidak dapat mengadakan pertimbangan bersama atau berkrompomi, dan tidak menerima pluralitas.

3. Keadilan Dalam Pancasila – Menjamin berlangsungnya kehidupan yang Plural.
            Teori Rawls bersesuaian dengan situasi yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia. Berhadapan dengan tugas untuk melatakan tatanan dasar kehidupan kenegaraan bersama yang didambakan, yaitu dalam diskusi BPUPKI bulan mei sampai juli 1945. Waktu itu ada dua  pandangan berhadapan satu sama lain: yang satu mau menjadikan agama mayoritas sebagai dasar negara, yang lain murni kebangsaan. Teryanta dua pandangan itu reasonable; mereka masing-masing bersedia merelakan sebagaian dari cita-cita mereka untuk mencapai cita-cita bersama, yakni penciptaan satu negara dari sabang sampai merauke dimana semua suku, ras, umat beragama dan komunitas budaya dapat hidup bersama dengan baik, dengan kewajiban dan hak-hak yang sama, tanpa harus melepaskan cita-cita dan keyakinan masing-masing. Dengan demikian seluruh pluralitas dinusantara itu dapat menerima negara yang mau didirikan itu. Overlapping consensus itu adalah pancasila. Sejak itu pancasila merupakan jaminan bahwa semua komunitas yang bersama–sama merupkan bangsa Indonesia termasuk minorits-minoritas yang paling kecilpun, dapat itu secara damai dan positif dalam satu negara Indonesia. Jadi dengan reasonable, Pancasila mencapai Fairness yang maksimum dalam menengahi pluralitas.
Dengan demikian, hasrat komunitas keagamaan yang semnpit dan keras, tak dapat dipertahankan untuk berlebihan aksi, apalagi mau mengendalikan kehidupan bangsa. Pluralitas agama adalah fakta bangsa Indonesia, sehingga tidak boleh ada kelompok agama yang menempatkan diri sebagai satu-satunya nilai.

4. Rekonstruksi Identitas Bangsa melalui Penghidupan Pancasila
Bangsa Indonesia yang menyadari realitas kemajemukannnya, sejak awal telah digumuli secara lebih saksama dan mendalam oleh father founders kita. Berbagai identitas primordial seperti kesukuan, etnis, golongan, budaya, agama dan lain sebagainya sangat diperhitungkan dan dibiarkan berjalan bersama suatu identitas nasional yaitu kebangsaan Indonesia. Sehingga dengan keIndonesiaan itu, kita bukan hanya memiliki identitas primordianl tertentu, tetapi kita sekali gus menjadi orang Indonesia bersamaan dengan keprimordialan tertentu. Bersama-sama dengan Identitas nasional dan primordial itu, kita menjadi Indonesia. Karena itu, keduanya perlu diseimbangkan, dan bukan mengabaikan salah satu dan hanya memperhatikan yang lain. 
Keseimbangan terhadap kedua identitas – demi menjadi Indonesia itu telah digumuli dan akhirnya menjadi sebuah konsensus politik yang terumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Dengan kedua dokumen ini kita melangsungkan kehidupan sebagai Bangsa Indonesia. Titaley[3] mengatakan bahwa, nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD 1945 (dan tentunya Pancasila juga karena Pancasila merupakan bagian dari pembukaan UUD 1945) itu ialah kebebasan (kemerdekaan) dan kesetaraan kemanusiaan. Menurutnya, alinea pertama dan kedua menunjukkan kemerdekaan adalah nilai dasar bangsa ini, karena hakikat seluruh perjuangan menjadi bangsa tidak lain daripada mencapai kemerdekaan itu. Selanjutnya, nilai kedua yang juga sangat mendasar bagi Bangsa ini adalah keinginannya untuk memperlakukan sesamanya secara setara, sebagaimana dalam alinea ketiga dan keempat.
Itu berarti, agar keIndonesiaan itu tetap eksist dan berlangsung, maka Pancasila sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah terus dijunjung tinggi. Parktek politik yang lebioh prakarsai oleh elite politik haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Sementara sebagai warga, kita pun harus bersediah bersikap setara, adil, membebaskan, terbuka, siap berkompro,o atau berargumentasi (to reason) dengan sesama warga kita, untuk hal apa pun, dengan orang dari latarbelakang suku, agama, budaya mana pun, dalam kesetaraan dan sikap saling menerima. Jadi, dengan menghidupi nilai-nilai Pancasila yang berlandaskan kebebasan dan kesetaraan, serta keterbukaan akan pluralitas (terutama agama), tidak boleh lagi ada kelompok keagamaan ekslusif yang mau mendominasi praktek kehidupan berbangsa. Dengan itu, keadilan Rawls dan yang dicita-citakan Pancasila betul-betul fairness. Dengan fairness semacam itu, KeIndonesiaan kita sebagai negara-bangsa tetap eksist dan verlangsung dalam payung Pancasila.

Daftar Pustaka

A. A. Yewangoe, dkk., Format Rekonstruksi Kekristenan, Jakarta-Salatiga, Sinar Harapan – Bina Darma, 2006
Frans Magnis-Suseno, Pancasila Tetap Dasar Eksistensi R. I., (makalah seminar agama dan negada di Salatiga, yang diselenggarakan oleh Bina Darma, 30 Agustus 2006)
-------------------, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006
John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1971,
John Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual, Salatiga, UKSW, 2001


[1] John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1971, hal. 60.
[2]. Frans Magnis-Suseno, Berebut Jiwa Bangsa, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm 173
[3]. John Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama Yang Kontekstual, Salatiga, UKSW, 2001, hlm 27

Teknologi sebagai Politik Kenyamanan


Teknologi sebagai Politik Kenyamanan


            Enam bulan setelah bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, Harold Urey—pemenang Nobel kimia 1934 dan salah seorang pimpinan proyek Manhattan—menulis,

“Saya menulis ini untuk menakut-nakuti Anda. Saya sendiri takut. Semua ilmuwan yang saya kenal merasa takut—takut akan hidup mereka—dan akan hidup Anda … ketegangan akan meningkat melebihi yang bisa kita bayangkan … kita akan hidup dalam ketakutan, tidur dalam ketakutan, dan mati dalam ketakutan. Kita takut, setiap kali ada ganggungan dalam hubungan internasional, bom atom muncul sebelum pagi menjelang” (dalam Robinson, 1948: 397).

Urey mungkin membayangkan, bahwa hanya dalam ketakutan terhadap kemungkinan mengerikan dari perkembangan program nuklir, manusia akan mulai memikirkan akibat tindakan-tindakannya. Filsuf Hans Jonas menyebut titik tolak kesadaran itu sebagai“heuristik ketakutan”. Nyatanya, sampai hari ini, banyak di antara kita masih bisa tidur lelap sekalipun masih ada 27.000 hulu ledak nuklir (nuclear warheads) di seluruh dunia tanpa alasan rasional strategis yang memadai.[1] Ini tentu tidak berarti bahwa semua orang diam saja terhadap pengembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir. Kelompok yang tidak setuju bukan pembenci teknologi yang populer dengan sebutan neo-Luddite.[2] Ada banyak alasan, teknis maupun non-teknis, untuk tetap bersikap skeptik terhadap “daya damai” yang dipromosikan teknologi nuklir.
            Tulisan sederhana ini akan meninjau teknologi sebagai politik kenyamanan dengan pertama-tama melihat fungsinya sebagai piranti. Bom atom dan berbagai hulu ledak nuklir strategis (serta beragam persenjataan bukan nuklir) merupakan contoh langsung penggunaan teknologi untuk kekerasan. Sekalipun demikian, dalam tulisan ini saya tidak membahas kekerasan dalam arti eksplisit seperti itu. Saya akan lebih melihat bagaimana teknologi yang tertanam dalam dunia kehidupan mentransformasikan pengalaman manusia serta melakukan “pemaksaan” tetapi tidak kita sadari, karena ia menyelundup diam-diam melalui gaya hidup yang kita rayakan dengan penuh suka cita.
           


Teknologi bukan semata Perkakas
Refleksi awal atas teknologi berangkat dari gagasan bahwa teknologi merupakan gejala singular yang mempunyai logika fungsionalnya sendiri, berbeda dari kebudayaan manusia pada umumnya. Teknologi bergantung ke hukum-hukumnya sendiri serta mempunyai peta perkembangannya sendiri. Ia menjadi subyek tanpa kontrol kecuali oleh dirinya sendiri. Pandangan substantif tentang teknologi yang diwakili oleh Jacques Ellul (1967) ini, misalnya, mengartikan teknologi sedemikian luas sebagai teknik. Ellul menjelaskan semua gejala dan peristiwa dengan menciutkannya ke satu prinsip, yakni tehnik. Perubahan teknologi merupakan dan akan terus menjadi penyebab utama perubahan dalam masyarakat. Di belakang gagasan ini bersembunyi asumsi metafisika mengenai sejarah linier dan universal yang juga melandasi the idea of progress. Baik pesimisme terhadap teknologi maupun optimisme menggebu para pendukungnya, lahir sebagai dampak pendekatan ini.
Martin Heidegger termasuk filsuf awal yang bermaksud menemukan bagaimana pada aras eksistensi paling dasar, manusia sudah selalu terlibat dengan teknologi. Teknologi bagi Heidegger merupakan suatu cara sistematik dalam melihat dunia dan melalui cara melihat itu, seluruh dunia diperlakukan sebagai bahan mentah yang siap untuk digunakan manusia melalui teknologi. Teknologi mengandaikan bentuk dunia yang tertentu dan dengan itu merumuskan tindakan tanggapannya. Melalui teknologi, dunia tersingkap sebagai ladang energi atau sumberdaya yang bisa ditambang dan ditimbun. Sifat “memaksa” teknologi terkait dengan hakikatnya sebagai penyingkapan dan pengerangkaan tersebut. Kendati ia menyingkapkan hakikat teknologi yang tidak bersifat teknologis, di ujung refleksi, ia sendiri terkerangkakan dalam konsep teknologi sebagai sesuatu yang self-generating. Teknologi lolos dari konteks sosial masyarakat sehingga bagi Heidegger, setiap bentuk teknologi, apakah itu bom atom, kamar gas di kamp konsentrasi, maupun industri makanan, semuanya merupakan ekspresi berbeda dari pengerangkaan yang sama.[3]
Jika teknologi dapat dijelaskan tanpa merujuk ke masyarakat, maka teknologi bersifat sosial hanya melalui proses penentuan sasarannya. Pendekatan substantif terhadap teknologi dengan cepat tergelincir ke pandangan instrumental mengenai teknologi. Teknologi semata perkakas; tidak jarang bahkan disederhanakan sebagai sains terapan yang memberlakukan kaidah-kaidah rasional yang sama dengan sains. Tentu saja gagasan instrumentalistik bebas nilai ini sudah lama usang.
Francis Bacon (1561-1626) memang mencita-citakan penerapan sains demi kesejahteraan umat manusia melalui peningkatan kemampuan teknis. Sekalipun demikian, harapannya sekadar cita-cita kesalehan tanpa isi. Baru pada tahap lanjut revolusi industri, pengetahuan ilmiah menjadi sumber bagi beragam proses industri sehingga berlangsung saintifikasi teknologi. Proses kebalikannya, teknifikasi sains, tidak terhindarkan ketika perkembangan sains semakin bergantung pada  kemajuan instrumentasi (Redner, 1987: 67). Lahirlah “teknosains” sebagai hibrida. Istilah ini baru memasuki kamus standar refleksi atas teknologi setelah penggunaan oleh Latour (1987: 29, 174-175), sekalipun gejalanya berkembang pesat sejak perang dunia ke-2. Menyangkut ‘hibrida’ ini, menarik untuk mengutip ucapan Waysand, “kuasa ilmu pengetahuan dibangun dengan menghapus daya ilmiahnya” (dalam Janicaud, 1994: xii).
Ia menunjuk ke fakta bahwa kemajuan sains dan teknologi sebagai hasil proses kumulatif, namun—terutama setelah PD II—penentu proses ini adalah sebuah komunitas raksasa yang menerima manfaat langsung dari keberhasilan sains dan teknologi. Komunitas itu beranggotakan pemerintah (unsur sipil dan militer), industri multinasional, dan lembaga-lembaga ilmiah terkemuka. Kemajuan sains dan teknologi tidak lagi bergantung ke individu penemu ataupun semata perhitungan ilmiah. Kombinasi berbagai kepentingan dan lebarnya spektrum nilai dalam komunitas raksasa tersebut, menyebabkan proses tersebut bersifat sangat politis. Proses raksasa tersebut di satu pihak mempercepat laju kecanggihan sains dan teknologi, khususnya bidang-bidang tertentu, tetapi di pihak lain membuatnya semakin jauh dari pemahaman masyarakat awam. Tumbuh kelompok-kelompok elite yang terus melebarkan sayap kekuasaannya tanpa memasalahkan akuntabilitasnya, karena selalu bisa bersembunyi di belakang selubung kompetensi teknis. Depolitisasi ruang publik (Afrendt, 1998) terjadi, karena masalah kebijakan publik menyangkut teknologi tertentu beralih menjadi masalah teknis yang tidak lagi terjangkau pemahaman awam. Problem teknologi namun mengangkut beban politis politis dipertarungkan dalam ajang para pakar menggunakan simbol-simbol teknis, sehingga lebih mirip pertunjukan ikon ketangkasan daripada perdebatan substansial menyangkut hajat hidup orang banyak.
Secara ringkas, menyangkut teknosains, pengalaman dalam PD II menyingkap dua hal: 1) dampak teknologi sesungguhnya tertanam dalam rancangannya, kendati sering diperlakukan sebagai efek samping (unintended consequences); 2) meski perubahan sosio-kultural kerap merupakan akibat tidak terelakkan dari persekutuan manusia dengan teknologi, intervensi manusia mempengaruhi bentuk dan karakter perubahan itu. Oleh alasan tersebut dan lainnya, sejak pertengahan ‘80-an, kajian reflektif atas teknologi cenderung meninggalkan orientasi transendental dengan melakukan empirical turn.[4] Tujuannya adalah memperlihatkan relasi manusia-teknologi yang jauh lebih rumit daripada yang ternyatakan dalam tesis determinisme teknologi.[5] Sekalipun demikian, kecenderungan Kajian Teknologi dan Sosiologi Teknologi memperlakukan teknologi sebagai sepenuhnya sistem sosial, sama dengan mengabaikan kotak-hitam teknologi yang isinya dipandu oleh rasionalitas fungsional.[6] Manusia tidak membangun peradaban dengan tubuh telanjang. Daya-daya material serta tata pengolahannya merupakan prasyarat dasar bagi adanya masyarakat dalam skala besar.

Piranti: Politik Kenyamanan
Memahami hubungan antara teknologi dan masyarakat berarti memahami ragam cara alat, perkakas, piranti beserta seluruh struktur pendukungnya termediasi dalam dunia kehidupan sehari-hari serta mentransformasikan dunia itu. Cara sederhana yang ditawarkan Borgmann (1984) adalah memahami gejala teknologi melalui pola yang bisa dikenali, tanpa tentu saja merampatkan seluruh gejala ke dalam satu pola. Salah satu pola menonjol teknologi modern adalah mengubah benda menjadi piranti (Borgmann, 1984; 42-43). Paradigma piranti merupakan prinsip formatif masyarakat modern, yang memilah komoditas yang mau disuguhkan dari sarana menyuguhkannya. Konteks bagaimana teknologi itu lahir tidak lagi relevan bagi pengguna. Pemanas air bertenaga listrik membebaskan pengguna dari jerih payah menjerang air di kompor, menunggui sampai mendidih dan menuangkannya ke ember untuk mandi, setelah sebelumnya mengisi kompornya dengan bahan bakar.
Contoh sederhana lainnya adalah kartu kredit. Kartu kredit menawarkan cara pembayaran paling nyaman. Kartu itu membebaskan pengguna dari beban membawa uang kontan, menghitung uang kala melakukan pembayaran, serta mencegah rasa malu bila uang di dompet tidak cukup untuk melakukan transaksi. Beban itu diambil alih oleh teknologi digital yang tidak kelihatan. Kartu kredit juga terlepas dari materialitas peredaran uang; uang virtual sekalipun. Seluruh karakter uang dalam pengertian tradisional lenyap, digantikan oleh sebuah janji, unspoken promise, yang sebetulnya tidak mengandung apa-apa.
Piranti bertujuan meningkatkan efisiensi, tetapi membuat pengguna semakin jauh dari realitas dengan menyembunyikan mesin penggeraknya, termasuk konteks waktu-ruang yang melekat pada benda. Masuknya tenaga listrik ke dalam kehidupan sehari-hari merupakan contoh paling nyata bagi gejala pelepasan daya-daya alam yang tidak lagi memperlihatkan kealamiahannya, sekaligus membuat manusia setiap saat bergantung pada berfungsinya sebuah sistem raksasa. Kita tidak bisa menumpuk listrik untuk persediaan, sebagaimana kita menimbun batubara atau bensin. Sifat sarana sebagai hantu tersembunyi semakin menguat dalam teknologi informasi, yang mampu menciptakan kemampuan abstrak mengontrol emosi melalui manipulasi informasi.
Sebagai komoditas, piranti menawarkan kenyamanan. Penyembunyian itu di satu sisi menyebabkan peran piranti sebagai ‘sarana’ ikut terselubung; di sisi lain, semakin menonjolkan kemudahan tersedianya ‘tujuan’. Bersamaan dengan penanggalan konteks dari piranti, terbentuk kelompok sosial dengan gaya hidup yang diapropriasi lewat iklan. Orang mengonsumsi bahkan terikat ke komoditas bukan lagi karena fungsi materialnya, melainkan karena kenyamanan dan kenikmatan yang dihasilkan, sera makna dan identitas yang terbentuk.  
Untuk yang terakhir ini, kita ambil contoh warga Jakarta yang sekarang sedang heboh mengunjungi sebuah mall di kawasan Senayan. Entah berapa megawatt listrik setiap hari dihabiskan demi tontonan dan kenikmatan yang disajikan kepada para pengunjung. Bahwa untuk menghasilkan kenikmatan “orang kota” itu, rahim Bumi dikoyak atau kita dipaksa menerima jenis teknologi berisiko tinggi bukan urusan para pengelola, apalagi pengunjung.
Bahwa teknologi tersebut membawa risiko yang juga akan dirasakan oleh “orang dusun” yang tidak pernah menerima manfaat langsung, dianggap efek samping yang ‘mestinya’ sudah menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan. Ketika terjadi bencana, para pengambil kebijakan dengan cepat akan melempar masalah ke para insinyur yang tentunya sudah menjamin keamanan teknologi tersebut, sebelum dilepas keluar dari ‘bilik percobaan’. Para insinyur dengan rendah hati akan berkilah bahwa tugas mereka adalah mencipta, tetapi bagaimana ciptaan akan digunakan, bukan tanggung jawab mereka. Para pemilik modal punya alasan sejenis dengan melempar muasal permasalahan ke ‘kebutuhan pasar’ yang menentukan apa yang perlu atau tidak perlu dijual.
Ulrich Beck (1995) menamakan situasi itu organized irresponsibility. Inilah suatu keadaan ketika secara sistemik tidak satu pihak pun bisa dimintai pertanggungjawaban atas bencana yang terjadi dan menyengsarakan banyak orang. Ini bukan situasi khayal. Kasus lumpur panas Lapindo memperlihatkan sedikit banyak gejala serupa.
Lepasnya konteks dari piranti, membuat kita abai. Para pemakai energi terendah di negeri ini boleh jadi bukan saja harus menanggung  risiko yang sama dengan para penikmat terbesar, tetapi jauh lebih besar. Piranti merupakan perwujudan paling nyata dari teknologi sebagai “politik kenyamanan” karena memungkinkan pengguna tidak perlu pusing dengan seluruh proses yang membangkitkan kenikmatan yang menjadi tujuannya. Tentu tidak ada yang keliru dengan upaya manusia mengupayakan kenikmatan dan kenyamanan. Kenikmatan dan kenyamanan menjadi masalah etis ketika muncul pertanyaan, apakah upaya pemerolehannya—langsung atau tidak—berpotensi mendukung atau merusak kepentingan bersama? Dalam konteks pembicaraan kita, apakah upaya menyediakan mesin penggeraknya yang tersembunyi itu semakin menghancurkan atau menguatkan tujuan untuk mencapai kesejahteraan bersama? Apakah teknologi yang dipilih meningkatkan kualitas hidup warga dalam jangka panjang?
Siapa yang secara kongkret akan memutuskan, khususnya ketika menyangkut teknologi berharga amat mahal dan berisiko tinggi serta menuntut disiplin luar biasa ketat yang belum tentu kita sanggupi, seperti PLTN?
Klaim bahwa pemerintah memegang peran khusus yang berbeda dengan aktor-aktor lainnya dalam perkembangan teknologi, merupakan debat tiada habis dalam Kajian Sains dan Teknologi, menyangkut karakter politik dan tindakan politik (Brown, 2001: 57). Sementara ide participatory design policy juga bukan tanpa masalah karena menyamakan secara gegabah individu sebagai warganegara dan sebagai konsumen. Di satu sisi, pemerintah semakin kehilangan daya penentunya akibat terjerat dalam jaring-jaring kekuatan berbagai kepentingan. Di sisi lain, mengandalkan warga sebagai pengambil keputusan mengandung ketegangan antara kebutuhan individu memaksimalkan kenyamanannya berdasarkan kebebasan preferensi pasar, dan kesadaran warga akan kepentingan bersama. Ketegangan tersebut bersumber di logika pemilihan yang berbeda (Sen, 1990). Yang pertama masalah selera, yang kedua masalah nilai-nilai yang bukan perkara suka atau tidak suka layaknya memilih perona mata atau kemeja.

Kepakaran dan Intelektualitas
Mungkin kita sedikit lega jika membayangkan bahwa kita bisa kembali ke diktum kuno: mereka yang berpengetahuanlah yang punya kekuasaan sekalipun paparan di atas sudah menunjukkan betapa pakar sebetulnya adalah anggota komunitas raksasa yang punya banyak kepentingan. Namun untuk sementara, sekali lagi kita andaikan kita bisa bertumpu ke preferensi mulia para pakar. Para pakar di bidang ilmunya inilah modal kultural minimal yang akan menyediakan pertimbangan-pertimbangan obyektif bagi masyarakat dan pemerintah untuk membuat pilihan. Pertanyaannya, sekali lagi, sejauh mana kepakaran bisa disejajarkan dengan “bisa dipercaya”?  Kita simak saja tragedi Challenger 28 Januari 1986 sebagaimana disampaikan Michael Davies dalam pertemuan The American Society of Civil Engineers (Mei 1988). Ringkasnya demikian:

Malam 27 Januari 1986, Robert Lund gelisah. Ia adalah wakil pimpinan perusahaan Morton-Thiokol dari divisi rekayasa. Morton-Thiokol adalah perusahaan yang memenangkan tender pembuatan roket pendorong pesawat ulang-alik Challenger. Kontraknya menghasilkan keuntungan $150 juta. Lund baru saja selesai menghadiri pertemuan para insinyur yang merekomendasikan penundaan peluncuran. Ia memberitahukan atasannya, Jerald Mason. Mason menghubungi para wakil NASA di Cape Kennedy (kawasan peluncuan). Berdasarkan aturan keselamatan, tanpa persetujuan para insinyur, pesawat ulang-alik tidak bisa diluncurkan. Lund belum memberi persetujuan karena temperatur di kawasan peluncuran mendekati titik beku. Sementara wakil Thiokol di Cape Kennedy khawatir akan es yang sudah terbentuk di sekitar roket pendorong, Lund mengkhawatirkan cincin-cincin O yang melindungi elemen-elemen roket pendorong itu. Pada temperatur terlalu rendah, cincin pelindung kehilangan kelenturan dan gagal akan berfungsi, Jika itu terjadi selama penerbangan, pesawat akan meledak. Sejauh itu, memang belum pernah ada uji-coba di bawah temperatur 50C. Namun dengan mempertimbangkan nasib para awak Challenger, para insinyur membuat keputusan tegas: keselamatanlah yang utama. Pihak Cape Kennedy keberatan dengan keputusan itu. Peluncuran Challenger sudah tertunda, dan atas berbagai pertimbangan, mereka harus meluncurkannya kali itu sesuai jadwal. Mereka menghubungi Mason dan sekali lagi meminta persetujuan Morton-Thiokol. Mason dan Joseph Kilminster—wakil pimpinan bidang ulang-alik—bersedia menandatangani persetujuan peluncuran asalkan ada persetujuan dari Lund. Lund kembali menolak. Mason lalu mendesak dengan menyampaikan instruksi yang membuat Lund mempertimbangkan lagi keputusannya. Para pimpinan perusahaan Morton-Thiokol memikirkan citra perusahaan mereka yang pada saat itu sedang dalam proses negosiasi pembaruan kontrak dengan NASA. Mason meminta Lund mencopot topi keinsinyurannya dan mengenakan topi manajer. Pemungutan suara para manajer dilakukan dengan keputusan bahwa tidak cukup alasan untuk menyatakan bahwa cincin-O tidak aman. Lund pun memberikan persetujuannya. Allan McDonald yang mewakili Morton-Thiokol di Cape Kennedy menolak menandatangani persetujuan, tetapi Kilminster bersedia. Keesokan harinya Challenger meledak 76 detik setelah diluncurkan. Kabin awak jatuh ke laut dan kee-tujuh awak tewas. Penyelidikan menunjukkan kegagalan cincin-O untuk berfungsi (diringkas dari Davis, “Thinking Like an Engineer”, 1988)

Kita tahu bahwa manajer berurusan dengan manusia, sementara insinyur berurusan dengan teknologi. Berpikir sebagai manajer dalam konteks yang dituntut oleh Mason dari Lund, adalah memumpun perhatian ke manusia. Ada dua kelompok manusia yang menuntut perhatian Lund sebagai manajer, yaitu (kepuasan) pihak yang dilayani (NASA) dan (jaminan kelanjutan pekerjaan) para insinyur bawahannya.
Kepakaran sebagai modal kultural yang sifatnya minimal, menunjuk ke pakar yang merujuk secara obyektif ke keahlian mereka. Dalam kehidupan civic kita, kita mengerti bahwa ini tidak mencukupi. Mengapa? Penanggalan konteks dari piranti bermuara di pemilahan tujuan dari makna. Tujuan diperlakukan sebagai semata perkara teknis. Ini berbeda ketika orang mengerti apa artinya profesi sebagaimana Hippokrates memahaminya. Hippokrates adalah seorang pakar di bidang kesehatan. Akan tetapi, ketika ia mengucapkan janji publik, ia juga sekaligus adalah anggota sebuah komunitas moral. Ia bukan saja tahu tanggung jawab yang ia emban karena keahlian yang ia miliki, tetapi juga memahami apa artinya kebaikan bersama. Ia sekaligus seorang pakar dan intelektual. Kode etik profesi yang idenya diwarisi dari sumpah Hippokrates mengandung pengertian bahwa seseorang yang punya pengetahuan sekaligus memahami implikasi profesinya bagi masyarakat umum. Otoritas yang ia miliki ia peroleh bukan dari keahliannya, tetapi terutama karena janji publik yang ia ucapkan. Hanya ketika ada jaminan kesetiaan kepada janji publik dengan komitmen moral semacam Hippokrates, para pakar menjadi kelompok yang layak dipercaya.

Technological Somnambulism
Piranti menjadi semakin memukau karena bergabung dengan politik pasar yang menawan dan membius. Padahal politik pasar sangat anti-intelektual. Intelektualitas melibatkan pengetahuan sekaligus kebijaksanaan, sementara pasar mengandalkan selera dan daya beli.[7] Teknologi secanggih teknologi ulang-alik ataupun PLTN tentu tidak dipilih segampang orang memilih menu makan siang. Meski demikian, cuaca kultural dan kepentingan ekonomi-politik bukannya tidak saling mempengaruhi. Para kapten pemasaran—entah ekonomi maupun politik—selalu bisa menempatkan diri dalam posisi strategis terhadap kelompok sasaran, sehingga akan mengarahkan pilihan sesuai kepentingan yang dirancang secara tersembunyi. Kita perhatikan bahwa setiap kali diskusi mengenai pembangunan PLTN dimulai, pemrakarsanya adalah lembaga yang berkepentingan khusus untuk pengembangan teknologi itu, entah industri ataupun lembaga penelitian yang dengan demikian bisa memperluas sayap kelembagaannya. Di atas dalih romantis pemenuhan kebutuhan konsumen yang terus meningkat, pemaksaan atas jenis teknologi tertentu menemukan pembenarannya. Atas nama kebutuhan pasar, kontingensi beralih menjadi keniscayaan.
Dalam refleksi Hans Jonas atas teknologi (1979, dalam Schraff dan Dusek, 2003: 192-193), hubungan antara sarana dan tujuan tidak bersifat unilinear, melainkan sirkular. Tujuan menemukan pemenuhannya melalui teknologi baru. Sebaliknya, teknologi baru menyuguhkan, menciptakan, serta memaksa tujuan baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Teknologi punya kekuatan untuk terus meningkatkan isi kantung hasrat manusia, termasuk kehendak akan teknologi itu sendiri. Teknologi dan hasrat sama-sama merupakan gejala kegelisahan.  
Kegelisahan teknologi juga dipicu oleh efek sampingnya yang problematik, seperti pengurangan sumber daya alam dan peningkatan populasi, yang pada gilirannya menuntut inovasi lanjut. Gejala ini masih ditambah dengan sindroma proliferasi dalam bentuk jaringan kesalingan amat rumit antara teknologi utama dan teknologi-teknologi pendukungnya (Jonas, ibid., 197). Bersama dengan persaingan untuk menumpuk laba, perluasan kekuasaan serta pertahanan keamanan, kegelisahan ini merupakan penggerak ‘abadi’ teknologi untuk terus bergulir maju. Tentu ada daya picu yang lebih otonom dan spontan, yaitu penggabungan antara visi utopis tentang peran teknologi sebagai penyelamat peradaban dan kenikmatan eksistensial yang muncul dari kegiatan rekayasa. Hal yang terakhir ini berhubungan dengan kodrat manusia yang senantiasa menjajaki wilayah baru demi meraih yang serba lebih nyaman.   
Khotbah naif tentang ‘kemajuan’ (the idea of progress) dan gagasan utopis sisa zaman revolusi industri yang disebut Jonas, yang menyebabkan teknologi dipandang sebagai sang penyelamat, merupakan salah satu alasan filsafat cukup lama mengabaikan teknologi. Alasan kedua adalah gagasan usang tentang teknologi sebagai perkakas, yang memilah ‘pembuat’ dari ‘pemakai’, sehingga masalah menyangkut teknologi tidak relevan bagi pemakai. Alasan berikutnya adalah tradisi filsafat Plato dan Aristoteles yang membedakan secara hierakis (dan dengan begitu nilainya bagi keutamaan manusia) epistēmē dengan technē (Scharff & Val Dusek, 2003; 3-5).
Tentu ada banyak pemikir yang sudah sejak akhir abad ke-19 merefleksikan teknologi. Namun, pada tahap itu kebanyakan melakukannya sebagai bagian dari refleksi atas bidang lain seperti Marx dan Kapp (materialisme historis), Heidegger (ontologi), serta Ellul (analisis sosiologis). Sementara, para teknolog dan ilmuwan melakukan kajian dari dalam teknologi. Tujuannya adalah memahami bagaimana cara mengada yang teknologis menjadi paradigma bagi pemikiran dan tindakan dalam bidang-bidang lain kehidupan. Mitcham (1994; 19-38) menamakan pendekatan itu sebagai engineering-philosophy (oleh Engelmeier, Dessauer, Bacca).
Teknologi sebagai gejala, bukan semata latar di belakang kegiatan manusia, merupakan refleksi yang relatif baru dibandingkan dengan bidang-bidang lain seperti sains, sejarah, hukum, dlsb (Mitcham, 1994; Borgmann, 1999; Kaplan, 2004). Winner (2004) menamakan keterlambatan mengenali teknologi sebagai gejala sebagai technological somnambulism. Berhadapan dengan gejala teknologi, filsafat rupanya ngelindur untuk waktu yang cukup lama. Hanya “sesudah terlindas bulldozer, kita cepat-cepat berdiri dan dengan seksama mengukur jejaknya”, tulis Winner. Padahal semakin maju teknologi, dan semakin besar campur tangannya dalam dunia sehari-hari serta seluruh ekosistem, semakin jejak itu tidak terukur. Hubungan manusia dengan teknologi bukan lagi tercerminkan oleh relasi (Manusia-teknologi)→Dunia dan/atau Manusia →(teknologi-Dunia) tetapi juga Manusia→teknologi-(-Dunia).[8]
Dalam relasi yang ketiga, teknologi bukan sekadar kepanjangan tubuh manusia atau sarana manusia menafsirkan dunia, melainkan pusat keterlibatan manusia sementara Dunia menjadi semata konteks atau latar belakang. Ketika Dunia menjadi latar belakang, jejak permanen, lembam, dan tak-terurai yang ditanamkan sistem teknologi di sekitar kita menjadi gejala yang tidak dikenali langsung, kecuali ketika menimbulkan efek katastrofik. Sekalipun dampak teknologi sesungguhnya tertanam dalam rancangannya, selalu saja dipertimbangkan sebagai efek samping (unintended consequences). Kita memahaminya demikian mungkin akibat kenaifan, tetapi mungkin juga dengan kesengajaan demi merayakan politik kenyamanan.

Mengapa Promotheus menderita?
Terikat dengan rantai besi ke batu karang, sementara seekor elang terus mematuk hatinya, Promotheus meratap:
It was I and none other who discovered ships, the sail-driven wagons that the sea buffets. Such were the contrivances that I discovered for men—alas for me! For I myself am without contrivances to rid myself of my present affliction”.
Promotheus mencuri api dari Hephaestus dan Athena serta memberikannya kepada manusia. Malangnya, ia mencuri sarana amat penting yang dibutuhkan manusia untuk menjalankan dan mempertahankan hidupnya, akan tetapi curiannya itu tidak mengandung hal paling utama yang justru dibutuhkan manusia dalam hidupnya: civic wisdom (lihat Dialog Plato, Protagoras). Untuk itulah ia dihukum oleh Zeus sepanjang zaman. Tidak ada cara yang bisa membebaskannya dari kesengsaraan akibat kecerobohannya itu.***
Karlina Supelli
Program Pascasarjana
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta
Kepustakaan
1.      Brown, Mark, “Civic Shaping of Technology”, Science, Technology, & Human Values, Vol. 26, No. 1. (Winter, 2001), pp. 56-81. URL: http://links.jstor.org/sici?sici=0162-2439%28200124%2926%3A1%3C56%3ATCSOTC%3E2.0.CO%3B2-4 (12 April 2007)
2.      Ellul, Jacques, The Technological Society (Vintage, 1967)
3.      Latour, Bruono, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers Through Society (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1987).
4.      MacKenzie, Donald. & Wajcman, Judy (eds). The Social Shaping of Technology (McGraw Hill Education, 1999).
5.      Redner, Harry, The Ends of Science: An Essay in Scientific Authority (Boulder: Westview Press, 1987)
6.      Sen, Amartya K, “Rational Fools: A Critique of the Behavioral Foundations od Economic Theory” dalam Beyond Self-Interest, ed. Jane Mansbridge (Chicago: Chicago University Press, 1990), 25-43.


[1] Lihat Lawrence Krauss, Closer to Armageddon, New Scientist, 02624079, 2/17/2007, Vol. 193, Issue 2591. Sebagai catatan, hulu ledak nuklir yang ada di dunia dalam bentuk hulu ledak strategis sekarang ini ± 7.000, sementara yang taktis dan bom ± 20.000.

[2] Luddite adalah sebutan bagi kelompok para pekerja di Inggris abad ke-19 yang menghancurkan mesin-mesin pabrik karena memandang bahwa penggunaan dan ketergantungan pada mesin telah merampas, sedikitnya mengurangi,  sumber pendapatan buruh yang selama itu bekerja mengandalkan tenaga manusia. Gerekan protes ini dimulai di Nottinghamshire tahun 1811. Istilah Neo-Luddite kini ditujukan bagi kelompok anti-teknologi.

[3] Kalimat Heidegger yang tercantum dalam teks bahan kuliah “Enframing” namun tidak lagi tercantum dalam teks yang dipublikasikan sebagai “The Question Concerning Technology” (1954) berbunyi demikian, “Agriculture is now a mechanised food industry, in essence the same as the manufacturing of corpses in gas chambers and extermination camps, the same as the blockade and starvation of nations, the same as the production of hydrogen bombs”, lihat Tom Rockmore, On Heidegger's Nazism and Philosophy (Berkeley: University of California Press, ©1992), 241-242. http://ark.cdlib.org/ark:/13030/ft6q2nb3wh/

[4] Saya mengacu ke David Kaplan (2004). Orientasi transendental menjadi ciri filsafat teknologi antara 1940an dan 1970an. Para pemikir kontemporer lebih berpusat di penafsiran kontekstual, melihat teknologi dalam relasi kesalingtergantungan dengan masyarakat [89].

[5] Dengan jenaka Charlie Chaplin dalam film Modern Times (1936) menggambarkan paradoks teknologi modern, sekaligus secara implisit menjungkirbalikkan konsep determinisme teknologi. Chaplin mengekspresikan teknologi melampaui megamachine (struktur raksasa yang dirancang bagi pelaksanaan otomatis). Mekanisme jalur perakitan menjadikan tubuh manusia sekadar elemen pendukung kerja mesin, sedemikian sehingga seluruh anggota tubuh ikut terotomatisasi seiring laju putaran roda gigi. Menariknya, perlawanan terhadap dominasi mesin terjadi ketika sang buruh terguncang mentalnya. Untuk pertama kali, gerak yang menarik perhatian bukan lagi gerak mekanis, melainkan olah tubuh sang buruh. Melalui dansa orang sakit jiwa, the tramp—tokoh utama yang diperankan Chaplin—seperti melakukan tindakan sia-sia mencoba mengambil alih kekuasaan mesin. Namun, ketika mesin berhasil ia jadikan sekutu, ia bukan lagi semata sepotong sekrup dari sebuah mesin raksasa. Ia menentukan jalannya mesin dan dengan demikian, perilaku buruh pabrik.

[6] Ambil contoh kajian mengenai inovasi teknologi. Pinch dan Bijker menyederhanakan literatur “Kajian Teknologi” ke dalam tiga tema besar: 1) kajian inovasi, 2) sejarah teknologi dan 3) sosiologi teknologi.  Dalam analisis ekonomi mengenai inovasi teknologi, misalnya, segala sesuatu yang dipercaya akan mempengaruhi suatu penemuan, dikaji secara cermat dan rinci kecuali teknologi itu sendiri. Teknologi sebagai suatu sistem pengetahuan tersendiri diabaikan {Pinch dan Bijker dalam Schraff dan Dusek (2003: 223-224)}.
[7] Bdk. Stephen Brown, Anne Marie Doherty, Bill Clarke. “Stoning the Romance, On marketing’s mind-firg’e manacles” dalam Brown, Doherty, Clarke (eds) Romancing the Market (London: Routledge, 1998), 9.
[8] Lihat Don Ihde, Technology and the Lifeworld (Bloomington, Indiana University Press, 1990), 72-108

HUBUNGAN ANTARA SOSIOLOGI PENGETAHUAN DAN SOSIALOGI AGAMA


HUBUNGAN ANTARA SOSIOLOGI PENGETAHUAN
 DAN SOSIALOGI AGAMA

Pengatar
            Dalam membahas hubungan antara sosiologi pengetahuan dan sosiologi agama, perlu ketelitian. Mengapa? Oleh tidak semua ahli sosiologi mencoba menjelaskan agama, dan juga sebaliknya. Jarang sekali ada ahli yang merupakan sosiolog murni, yang mengupas agama secara khusus dalam kajian sosiologinya. Dan karenanya, menurut hemat kelompok, Peter Berger adalah sosok yang tepat untuk diacu dalam memahami topik yang demikian. Ia adalah sosiolog yang mulanya memahami masyarakat dari sudut pandang filsafat  (sosiologi humansistik), tetapi kemudian menjadikan agama sebagai realitas sosial yang ditelaahnya juga. Tiga buku diantara karya-karyanya menggambarkan pendirian Berger sebagai sosiolog murni dan sosiolog agama juga yaitu: Tafsir sosial atas kenyataan – risalah tentang sosiologi pengetahuan, Langit Suci – agama sebagai realitas sosial, dan Kabar angin dari langit – Makna teologi dalam mayarakat modern.terbitan LP3ES. Karenanya, paparan berikut menyangkut pengertian dan keterhubungan antara sosiologi pengetahuan dan sosiologi agama mengacu pada karya-karya Berger tersebut.

  1. Sosiologoi Pengetahuan: berfungsi menjelaskan adanya dialektika (hubungan timbal-balik) antara diri manusia (pikiran/akal budi/realisasi diri manusia individu) dengan dunia sosio-kultural (dunia sosial atau masyarakat) yang berlangsung dalam suatu proses yang mengandung 3 momen atau peristiwa penting. Hubungan dialektis antara manusia dengan masyarakat sosial tersebut terdiri atas  3 momen yang dikenal dengan: Eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi. Melalui externalisasi manusia mengexpresikan dirinya dengan membangun masyarakat (Dunia). Melalui externalisasi ini masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan itu menjadi realitas objekif yaitu suatu kenyataan. Yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini di sebut objektifikasi. Masyarakat dengan segala pranata sosial-nya  akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku manusia. Dari sudut manusia dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi. Dengan kata lain, melalui Externalsasi masyarakat menjadi keyataan yang diciptakan oleh manusia; melalui objektifikasi masyarakat menjadi kenyataan sendiri berhadapan dengan manusia; melalui internalisasi manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat.
  2. Sosiologi agama: suatu sub disiplin dari sosiologi yang mempelajari tentang agama sebagai suatu fenomena sosial, atau fakta sosial yang memiliki peranan dalam masyarakat. Sosiologi agama mencoba menjelaskan keberadaan agama dalam masyarakat serta peranan dan fungsi yang dimainkan agama bagi masyarakat tersebut. Dengan kata lain, Agama dari sudut sosiologi agama, dicoba untuk dipahami secara sosiologis sebagaimana kenyataan-kenyataan sosial yang lain: politik, kebudayaan, hukum, negara dll. Agama tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang non-empiris sehingga tidak dapat didekati dari sudut ilmu pengetahuan, tetapi dilihat sebagai sesuatu yang empiris dalam kenyataan sosial sehingga bisa dipelajari. 
  3. hubungan anatara sosiologi pengetahuan dan sosiologi agama.
Untuk menjelaskan kaitan antara kedua disiplin ilmu tersebut, maka konsep eksternalisasi dalam teori dialektika Berger harus dijelaskan lebih jauh lagi. kemampuan eksternalisasi diri pada manusia tidak hanya sebatas terbentuknya kelompok masyarakat, tetapi juga menyangkut pranata perangkat-perangkat sosial yang ada didalamnya juga, seperti kebudayaan, pendidikan, hukum, bahkan agama sendiri. Artinya agama secara sosiologis diyakini sebagai hasil ekspresi /buatan manusia juga. Oleh karena agama dilihat sebagai suatu kenyataan sosial maka ia bisa didekati dari sudut ilmu pengetahuan juga, dan dalam hal ini sosiologi pengetahuan mencoba untuk menjelaskannya. Agama tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang non-empiris sehingga tidak dianalisa oleh ilmu pengetahuan. Namun demikian, penjelasan dari sosiologi pengetahuan berifat umum saja. Dalam kerangka demikian, muncullah sosiologi agama untuk benar-benar melihat agama secara spesifik sebagai suatu gejala sosial, dan menjelaskannya lebih dalam dan rinci. Dengan demikian sosiologi agama bermaksud menganalisa keberadaan agama beserta peranan dan fungsinya dalam masyarakat lebih detail.
Pertanyaannya, mengapa agama didekati secara sosiologis (Ilmu pengetahuan)? Karena bahwa  agama sungguh-sungguh dilihat sebagai suatu kenyataan sosial secar historis agama merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif dalam memperthankan tatanan sosial. Mengapa? Karena setiap masyarakat selalu mengahadapi persoalan  bagaimana meneruskan peranan sosial  yang telah dibangun  kepada generasi berikutnya peorses ini di sebut sosialisasi. Dalam peorses sosialisasi ini makna dari pranata sosial harus dijelaskan sedekian rupa, sehingga dapat di terima oleh individu. Fungsi legitimasi adalah koknitif atau rasional, yaitu menjelaskan mengenai makna masyarakat dan norma-norman serta memberikan pedoman bagaimana seseorang ahrus bertingkah-laku . tujuan dari segala bentuk legitimasi adalah mempertahankan tatanan sosial. Ada berbagai betu legitimasi seperti  kata-kata mutiara,legenda,perumpamaan,perintah-perintah moral bahkan agama. Agama sendiri menjadi satu bentuk legitimasi kepada tatanan masyarakat. sebagai contoh; dalam masyarakat kuno pemimpin harus ditaati oleh rakyatnya kerena diyakini sebagai utusan atau pilihan dari yang ilahi, dan karenanya rakyat hanya boleh tunduk terhadap setiap perintahnya tampa perlawana.
Jadi, hubungan antara sosiologi pengetahuan dan sosiologi agama sama dekat dan saling timbal balik. di satu sisi, sosiologia pengetahuan mencoba memaami masyarakat dan segala perangkat sosialnya secara umum saja. Misalnya mampu mengidentifikasi hubunagn antara manusia di dalamnya, antara manusia dengan peranata-pranata sosialnya; hukum, kebudayaan, agama, dll. Namun penjelasanya hanay bersifat umum. Pada sisi lain  sosiologi agama, sebagai suatu sub disiplin dari sosiologi pengetahuan secara spesifik meneliti keberadaan agama serta peranana dan fungsinya dalam masyarakat. Kedua disiplin ini saling menguntungkan, oleh karena sosiologi pengetahuan melahirkan sosiologi agama guna memperkaya dirinya, dan sosiologia gaam sendiri masih di bantu oleh teori-teori sosial (sosiologi pengetahuan ) dalam memahami persoalan pokok agama dalam masyarakat.